Selasa, 09 November 2010

Rumah Penuh Cinta

Rumah Penuh Cinta

Malam baru saja beranjak menawarkan keheningan, setelah hujan menderas sejak siang hingga sore tadi. Memasuki petang derasnya mulai mereda berganti rintik yang membawa serta dingan yang menggigil. Anak-anak mulai bergelung di atas tempat tidur. Kuhantarkan mereka menderaskan pula doa akan tidur yang sudah sangat hafal di luar kepala. Kujanjikan pada si sulung sebuah kebaikan yang akan diperolehnya kalau esok  dia bangun pagi dan bergegas sholat shubuh tanpa disuruh. Kulihat matanya bersinar, bibirnya menyunggingkan senyum optimis,, dan lesung pipitnya terbentuk diantara dua pipi bulatnya persis seperti ayahnya jika tengah tersenyum padaku. Yang nomor dua pun tak mau kalah. Bahkan dia berjanji sendiri untuk bangun pagi tanpa disuruh, tidak ngompol dan sholat subuh. Aku tergelak saat dia juga berjanji bangun nomor dua setelah bundanya.
Kutanya ia, “Mengapa tidak nomor satu?”
“ Iya, kan Bunda yang harus bangun dulu supaya aku ada temannya, terus bisa buatkan aku susu.” jawabnya bersemangat.
“Iya deh, Bunda insyaallah bangun dulu buat susu untuk  semuanya lalu kalian semua bangun minum susu buatan bunda, terus kita siap-siap sholat shubuh berjamaah, bagaimana, setuju ?” tanyaku.
 Lalu serentak menjawab, “Setuju…!”
Kukecup keningnya satu-persatu dan aba-aba tidur pun segera ku sampaikan. Tanpa suara kututup pintu kamar dan kumatikan lampunya, berganti lampu temaram yang akan menemani tidur mereka.
“Bunda, kalau besok aku bangun pagi, apakah matahari sudah bangun ?” tanya yang nomor tiga sebelum aku beranjak meninggalkan mereka.
 “Ya, matahari akan muncul sedikit dan mengintip kita. Tapi kalau kamu lihat mataharinya sudah bulat dan di luar jendela itu terlihat terang, itu tandanya kamu sudah terlambat sholat subuh.” jawabku setengah berbisik.
“Kalau begitu sekarang lekas tidur biar besok tidak terlambat bangun, oke !” perintahku sambil kurapikan lagi selimutnya. Kututup pintu kamar perlahan setelah kupastikan semua tidak akan bertanya lagi ketika aku keluar dari kamar mereka.
 Sambil  kusapukan pandanganku keseluruh kamar, aku berujar lirih,”Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, atas semua kebaikan ini.
 Kamar luas itu  mau mas Wid suamiku, ayah mereka. Ketika kesempatan memiliki rumah sendiri Allah ijinkan setelah delapan tahun kami berpindah-pindah kontrakan, akhirnya mimpi itu perlahan-lahan mulai terwujud.  Ide besarnya adalah kebersamaan kami dalam segala kondisi. Dengan empat jagoan yang usianya sangat berdekatan, kami menentukan pola asuh yang sangat sederhana menurut  kami kedua orangtuanya. Kakak pertama kami “titipi” adik yang keempat, kakak kedua dengan adik yang nomor tiga. Meskipun terkesan sederhana tapi terkadang muncul  konflik, karena perbedaan karakter dan ego masing-masing. Terkadang pergantian peran kami lakukan, tapi aturan tetap berlaku selama kebaikan itu tidak bergeser dari niat awalnya. Tanggung jawab dan kewajiban yang harus mereka pahami sejak dini dalam memaknai kebersamaan ini. Ruang tanpa batas berukuran 7x5 meter persegi itu sengaja diciptakan tanpa sekat. Di dalamnya berdampingan tempat tidur 1x120 meter persegi yang hanya berjarak sekitar 1 meter untuk memisahkan tempat tidur masing-masing. Diatur berjajar layaknya barak tentara, sehingga memudahkan aku dan ayahnya mengecup kening mereka bergantian tanpa mengangkat kepala. Di sudut sana ada dua buah meja belajar yang lagi-lagi konsepnya adalah kebersamaan. Kami serahkan mereka mengaturnya sendiri, termasuk pembagian tugas merapikan dan menatanya sesuai selera mereka. Dua jendela kaca menghadap hamparan sawah dan perbukitan di samping rumah menjadi tempat favorit kami kala pagi menyambut mentari dan sore hari menjelang senja. Banyak mimpi-mimpi  mulai kami rajut disini, ide-ide besar mereka dan celoteh-celoteh yang menginspirasi.
Ruang besar dilantai dua itu adalah mimpi kami kedua setelah membeli rumah ini. Lantai satu hanya untuk dua kamar tidur, satu untukku dan suamiku, satu lagi kamar tidur untuk tamu, dan ruang kecil di depan untuk ruang tamu yang disekat menjadi garasi. Di bagian belakang setelah ruang keluarga ada dapur dan ruang makan yang lagi-lagi konsepnya juga kebersamaan, karena tidak ada sekat disana. Kami biasa berkumpul di sekelilingnya sambil makan, masak bersama, atau nonton televisi. Meja makan itu juga menjadi tempat favorit kedua setelah jendela diatas  tadi. Kita bercerita apa saja disana. Dari menu kesukaan sampai rencana liburan dan beli buku baru. Suamiku sering memancing ide mereka dengan bercerita pengalaman bertemu banyak orang di hari-harinya dan nostalgia masa kecilnya. Kesempatan bertemu anak-anak yang hanya sebentar-sebentar menjadikan kerinduan kami padanya luar biasa, sehingga kesempatan itu tidak pernah kami sia-siakan. Dan suamiku tahu betul bagaimana membahagiakan kami, keluarga kecilnya. Pertemuan yang sebentar itu menjadi berkualitas karena dia pandai sekali memilih acara yang tepat untuk kebersamaan kami.
Dengarlah suara kalemnya saat telepon aku suatu sore, “Bun, siap-siap ya, ba’da maghrib aku jemput kamu dengan anak-anak, kita ke villa, ayah ada acara sampai besok siang.” Perintahnya dengan lembut. Tanpa banyak komentar akupun mengiyakan dan berjanji menyiapkan anak-anak yang pasti sangat senang menyambut ajakan ayahnnya. Dan bisa ditebak saat janji ayahnya kusampaikan pada mereka,” Hore…kita bersenang-senang!” lalu tanpa disuruh baju-baju disiapkan, bekal dan sedikit mainan diangkut kedalam masing-masing tas mereka, bahkan si bungsu sudah repot dengan baju renang dan peralatan mandinya. Heboh, tapi menyenangkan. Momen-momen special itulah yang selalu aku nikmati, sebagai bunda aku sering membayangkan, ketika anak-anak telah dewasa nantinya . Betapa rumah ini akan sepi. Rumah yang aku dan suamiku bangun dengan pondasi mimpi dan tiang pengorbanan serta kesabaran. Bagaimanapun cita-cita membangun kebersamaan itu adalah modal awal kami. Kalau Allah mengijinkan betapa ingin aku bersama mereka semua sampai aku menghadapNya kelak. Aku pasti akan merindukan celoteh riang mereka, pertengkaran-pertengkaran kecil itu, hiruk pikuk membangun rumah-rumahan dari bantal, guling dan selimut bundanya sampai aku harus menahan dingin suatu malam tanpa kusadari bahwa sang selimut telah terpasang dengan manisnya sebagai atap tenda-tendaan di ruang tamu bersama selimut mereka yang menjadi alasnya. Pantas saja malam itu aku merasa berada di Jepang merasakan dinginnya salju sambil menikmati bunga sakura yang menyembul malu-malu di balik rantingnya yang memutih kristal. Indah sekali, tapi aku memang tak tahan dingin. Itulah yang selalu menjadi alasanku setiap suami dan anak-anak memintaku terjun ke kolam renang menemani mereka bermain air. Aku menikmati mimpiku waktu itu karena rasa dingin yang mencengkeram kakiku  tidak kuhiraukan lagi bersamaan mas Wid suamiku meraihkan sekuntum sakura di ujung sana dan mengulurkannya untukku sambil tersenyum. Aku berbahagia semalam itu sampai alarm HP berdering membangunkanku dari mimpi itu. Aku langsung bersyukur dan tersenyum kecil menyadari aku tengah bermimpi dan aku meminta pada Allah mimpi indah itu berwujud nyata suatu hari nanti. Tidak ada salahnya aku ke Jepang. Mungkin salah satu dari mereka memintaku kesana, menjenguknya dan menyemangati mereka menyelesaikan studi S2 atau S3 nya. Allah Maha Tahu apa yang kumau.
Atau aku akan memasak sambil mengukur seberapa banyak beras yang akan kutanak,dan seberapa butir telor yang akan ku ceplok sebagaimana biasa aku menghidangkannya untuk keluargaku. Dan sepertinya kursi-kursi makan itu hanya aku dan mas Wid yang akan meramaikannya sambil menceritakan polah mereka sebelum hari ini. Ya Allah aku sedih kalau memikirkan itu. Tapi mas Wid selalu bilang padaku anak-anak pasti akan merindukan masakanku terutama omelanku sepanjang hari. “Ha….ha….ha….”katanya sambil meledekku. Aku hanya bisa cemberut dan balik meledeknya dengan mengingatkan Kue Terang Bulan bantatnya yang juga dirindukan anak-anak kalau sedang mati lampu dan hujan rintik-rintik di sore hari. Mas Wid lalu mengacak rambut dan memelukku erat-erat untuk meyakinkanku bahwa dia akan menemaniku sampai aku bosan. Duh…bagaimana aku bisa bosan kalau kehadirannya selalu kurindukan.
Sebetulnya Rumah Cinta itu juga perjuangan besar kami saat mencari lingkungan dan pergaulan yang “aman” untuk kami sekeluarga. Setelah empat kali kami pindah rumah dan berganti tetangga, kami akhirnya mendapatkan lingkungan yang sangat kondusif untuk tumbuh kembang anak-anak juga aku bundanya mengaktualisasikan diri. Kalau mas Wid suamiku, “Yang penting dekat masjid,” ujarnya. Harapan besarnya memang mengkondisikan anak-anak untuk cinta masjid, dengan berusaha mengajaknya sholat berjamaah.Aku ingat ketika itu si sulung masih sangat kecil, usianya belum lagi 4 bulan. Dengan semangat si sulung dibangunkan dari tidur lelapnya, karena udara memang sangat dingin subuh itu. Aku mencoba untuk menawarnya agar nanti saja kalau sudah agak besar. “Aku ingin anak-anak tahu bangun pagi itu bagus untuk manajemen waktunya kelak kalau sudah besar, biar mereka juga tahu malaikat akan membagi-bagikan rezeqi Allah itu pagi-pagi sekali, jadi kalau mereka terlambat bangun jangan harap hari ini berbahagia sebahagia orang yang menjumpai pagi. Dhik, pagi hari juga bisa kamu ajak anak-anak melihat kesibukan bundanya melatih empati mereka, membantu bunda dan mendekatkan mereka dengan kamu. Tapi ndak pakai ngomel ya…!” petuahnya langsung mengena kehatiku.
Maka ketika fajar menyingsing adalah saat aku memberi komando kehidupan pada rumah cintaku. Menyibakkan selimut akan membangunkan mas Wid dari lelapnya, membuka pintu kamar membuat si sulung membuka matanya, menyalakan kran kamar mandi akan membangunkan yang nomor dua disusul teriakannya minta susu akan membangunkan kedua adiknya yang meminta susunya juga. Walhasil pagi hari di istanaku menimbulkan kesibukan luar biasa setelah kelima jagoanku bangun semua. Pembaca, jangan salah, jagoanku yang pertama adalah mas Widku tersayang, baru yang empat adalah si sulung dan adik-adiknya.
Lalu kesibukan berikutnya adalah mas Wid yang memberi komando sholat shubuh ke masjid. Si bungsu masih kebingungan mencari pecinya saat mas Wid sudah membuka pintu pagar. Ternyata sang peci sudah bertengger di kepalanya tanpa disadarinya. Yang nomor tiga kebingungan mencari sebelah sandalnya yang entah dimana diletakkan kemarin sore selepas ke masjid untuk sholat isya’. Sambil berlari dikejarnya mas-masnya yang meninggalkannya karena muadzin sudah mengumandangkan adzan. “Tunggu mas, sandalku kebesaran nih aku ndak bisa lari,” teriaknya memecah keheningan subuh dan membangunkan tetangga kanan kiriku. Lalu kesibukan baru dimulai setelah kepergian mereka. Lampu-lampu teras sepanjang jalan ke masjid mulai dipadamkan, dan jendela-jendela rumah mereka tersibak tirainya. Bersamaan iqomah dikumandangkan maka mak Rum penjual sayur di perumahan kami memarkir barang dagangannya di atas meja sajinya. Sambil bergegas ia pun berlari menuju masjid untuk sholat di sana.
Aku cinta sekali suasana pagi. Disanalah aku mencanangkan mimpi hari ini dari inspirasi malam setelah aku terlelap sesaat bersama anak-anak. Setelah mengantarkan malam menemani buah hatiku dengan kedamaiannya aku akan merebahkan diri pula sembari berbisik padanya agar jangan membuaiku dengan berlama-lama bersamanya. Cukuplah membuat penatku sehari tadi terobati dengan pulasku, karena aku ada janji bertemu Rabbku di sepertiga malam terakhir nanti dan janji dengan diriku sendiri untuk melanjutkan untaian kalamNya yang tertunda karena kesibukanku seharian tadi.
Selain pagi, malam menjelang dini hari juga menjadi kesayanganku, darinya aku dapati kejujuranku. Aku yang pemalu merayu suamiku,padahal aku tahu betapa inginnya aku menghampirinya dan bertanya apa yang ingin aku lakukan sekarang bersamanya. Atau aku yang merasa bersalah meninggalkan anak-anak sore tadi untuk mendatangi acaraku tanpa meminta persetujuan mereka, dan terus berjanji mengajaknya lain waktu. Aku yang malu telah meninggalkan tilawahku karena asyik ngobrol dengan teman-teman di kantor guru tadi siang, atau aku yang terlanjur malu karena tertidur saat dzikir siang tadi sehabis sholat dzuhur di masjid sekolah tempatku mengajar. Tempat favoritku kala merenungi malu adalah sudut kamarku. Disana  kuhamparkan sajadah pemberian mas Wid setelah akad nikah dulu. Masih terngiang di gendang telingaku sapanya pagi setelah kepulangan kami dari masjid Al-Huda tempat janji suci itu diikrarkan,”Dhik ini bukan mahar lho ya, ini kado  mas dari temen-teman mas. Amanahnya untuk diberikan ke istri mas. Maksudnya sih dulu buat dijadikan mahar, tapi ternyata kamu minta maharnya hafalan Al Quran. “ujarnya sambil menyerahkan seperangkat alat sholat dan Al Quran mungil yang sederhana itu. Dan sampai hari ini seperangkat alat sholat itu masih menemani hari-hariku. Ada ketulusan dan kesederhanaan di sana. Itulah yang kurasakan, dan itulah masku, apa adanya. Aku masih merasakan getaran tangan dan desahan nafasnya ketika menyerahkannya padaku pagi itu.
Di hamparan sajadah itulah aku sampaikan rasa dan harapku pada Allah, tempat curahan cintaku. Betapa aku selalu merindukan mereka, keluarga kecilku. Aku berharap Allah membimbingku menjadi istri yang baik, ibu yang luar biasa untuk anak-anakku. Aku betul meminta padaNya menjaga keluargaku, menyayangi kami dan mengampuni salah dan mungkin dusta yang tanpa sengaja kami sampirkan pada hari-hari kami meniti cinta ini. Seperti malam ini setelah aku terjaga dari lelapku, aku kembali bersimpuh di sudut kamar itu bersama hamparan sajadah yang telah hampir 8 tahun menemaniku. Ku tanyakan padaNya apakah aku berhak bahagia setelah apa yang telah kulakukan sepanjang hari tadi. Tanpa bermaksud mendustainya, aku tak sengaja bersedih membayangkan anak-anak akan meninggalkanku sendiri di rumah ini. Mengapa ada sebentuk rasa kesendirian tidak bersama mereka esok hari. Baru kusadari malam ini, bahwa Allah tidak akan membiarkanku sendiri kalau aku terus menderas dzikirku, mengingatNya di setiap sudut batin dan ragaku. Kesendirian adalah milik kita kalau kita mengucilkan batin kita. Ada saat kita butuh kesendirian itu seperti saat ini, saat aku bersimpuh di sudut kamarku ini. Mas Wid ada tugas ke luar kota sejak dua hari yang lalu.Mungkin esok baru pulang. Tapi lihatlah aku tidak sedang sendiri, ada Allah yang tengah menjawab resahku, mendekap gelisahku dan meredakan galauku. Aku mendengar janjiNya ujung malam itu, “Berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar “ Sabarku adalah ketika sore tadi ada yang menyampaikan sebuah gunjingan untukku. Alhamdulillah aku menerimanya dengan kesyukuran atas limpahan pahala dari penggunjing itu. Kuhadiahkan senampan maaf untuknya sebelum dia meminta. Sabarku adalah saat uang yang terselip di dompet tinggal 5000 rupiah sedang susu sulung dan adiknya tinggal tersisa untuk persembahan bangun tidur esok hari. 5000 itu kuulurkan pada kaleng infaq yang berkeliling saat pengajian sore tadi untuk sunduq pembangunan masjid. Aku terbersit malu mempersembahkan cuma selembar itu Dan Allah langsung membalasnya dengan hantaran 2 kilogram gula dan 1 liter minyak goreng ke rumahku oleh seorang sahabatku. Sabarku adalah ketika mas Wid berbisik minta maaf belum bisa pulang hari ini, dan akan berusaha mengejar kereta yang tertinggal tadi sore dengan jadwal esok pagi. Kesabaran yang ini menjadikan anak-anak mudah sekali dinasehati dan bersikap manis padaku sepanjang hari tadi. Aku tidak tahu bagaimana aku harus membalas kebaikan-kebaikan yang Allah berikan padaku. KebaikanNya terulur sebelum aku meminta. Aku terkadang lupa untuk bersegera memenuhi panggilanNya. Dan malam itu aku berazzam mencontoh kebaikanNya pada orang-orang disekitarku sekuat kemampuanku.





Rumah Penuh Cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar