Rabu, 29 Juni 2011

Yuk, belajar lagi...!

Yuk….Belajar (lagi) !
(Oleh: Lenny Oktaviana Dewi,S.Pd)
                Dalam sebuah kesempatan pertemuan dengan ibu-ibu pengajian bulanan, saya di tantang untuk kuliah lagi. Karena jaman sekarang Sarjana S1 sudah tidak ada bedanya dengan lulusan SMU.
”Ayo, Bu Lenny, mumpung masih muda. Siapa tahu bisa nambahin kredit point dan gajinya tambah gedhe!” celoteh si ibu dengan semangat. Kebetulan ibu tersebut  juga sedang kuliah S2. Saya tertawa kecil menanggapi penuturannya.  Dalam hati saya mengiyakan statement beliau untuk kuliah (baca= belajar) lagi. Karena sesungguhnya saya juga sangat ingin kembali merasakan jenak-jenak menikmati bangku kuliah seperti dulu. Tapi mungkin Allah belum mengijinkan untuk saat ini. Saya butuh waktu untuk memanage semuanya termasuk diri dan keluarga. Dan yang terpenting saya tidak ingin niatan belajar lagi itu hanya  semata mendapat kredit point atau tambahnya gaji. Biarlah yang itu mengikuti setelah tujuan saya belajar lagi itu karena sungguh Allah ridha dengan saya. Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu…. Itu janjiNya dalam Al Quran.
Saya ingin ilmu yang saya peroleh membawa keberkahan dalam rentang hidup saya hingga hari akhir nanti. Saya ingin ilmu yang saya dapat menjadikan saya semakin faham hakekat diri dan kehidupan. Sebagaimana para shahabiyah yang karena kefahaman akan ilmunya menjadikan mereka wanita-wanita teladan kebaikan sampai hari ini. Memberikan peran penting dalam mengantar diri dan keluarganya terbebas dari siksa api neraka. …” Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri dan keluargamu dari  api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan k eras yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahriim:6)
Maka lihatlah Ummu Sulaim yang meminta mahar kepada Abu Thalhah yang berkehendak memintanya menjadi istri. “Aku akan menikahimu asal kau bersyahadat tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah”, pintanya tegas. Dan Abu Thalhah pun mengiyakannya. Kalau bukan karena kefahaman akan diennya, tiada mungkin terucap kalimat luar biasa seperti itu. Maka, Ummu Sulaim adalah pembelajar sejati. Ilmu yang mendatangkan kefahaman menggelorakan iman yang melesak ke dalam sanubari. Menjadikan ia perempuan dengan mahar  termahal sepanjang sejarah hidup ini. Belajar kepada Ummu Sulaim, karena Ummu Sulaim belajar mengenal Allah dalam bangku kuliahnya. Belajar untuk menjadikan dirinya lebih memahami diennya, agama yang lurus ini.
Gempita meriah pesta walimah telah usai, maka  kebahagiaan merajai  kedua mempelai. Malam indah  terasa penuh bunga.  Semerbak harumnya menjadikan pengantin itu merasa betah berlama dalam peluk dan cinta. Tapi, genderang perang tengah ditabuh. Panggilan jihad tak mengenal kata tunggu dulu, aku sedang bercumbu rayu. Relakah peluk sang kekasih terurai demi janjiNya? Bersua para pendahulu syuhada yang telah bertemu bidadari di syurgaNya. Dan, dengarlah untaian indah sang pujaan hati yang begitu mengenal cinta dan rindu kepada Allah,”Pergilah kakanda, adinda menunggu dipintu syurga.” Melepas peluk tanda ikhlas, mengantar suami yang baru menikahinya beberapa saat lalu. Bahkan jenak rindupun belum sempat tertitipkan pada malam. Melesatlah sang pujaan ke medan juang yang menantang. Handzolah sang pejuang, mengirim kabar kesyahidan pada sang istri tersayang. Tersanding senyum Rasulullah menyaksikan malaikat memandikan sang syuhada. Karena  janabat belumlah sempat, berlari  memburu harum kesturi yang memikat. Duhai, wanita seperti apa istri sang syuhada. Mulianya tiada tandingan hingga hari ini. Mungkin kita bisa belajar darinya. Istri Handzolah yang berkalung ikhlas melepas kekasih pujaan. Mengantarkan pada kesyahidan. Sungguh Allah pasti menyandingkan mereka berdua. Sejoli cinta sampai negeri abadi. Mari kita belajar darinya. Kalau bukan karena kefahamannya akan ilmu , tiada mungkin istri syuhada itu menjadi begitu bijak melepas suami.
Ada lagi kisah seorang ibu yang meredam kemanjaan sang putra agar kembali ke medan jihad. Abdullah bin Zubair sang putra merasa melemah. Didatanginya pangkuan ibu berharap pembelaan darinya. “Wahai Ibu, kini manusia telah menghina diriku. Pengikutku makin menipis. Kekuatan kami mungkin hanya bertahan sampai hari ini. Sedang musuh masih menawarkan dunia, bila kuturuti kehendaknya bagaimana pendapatmu?”
“Demi Allah wahai anakku jika tahu dirimu dalam kebenaran dan disitulah tujuanmu, teruskanlah! Namun jika tujuanmu adalah duniawi semata, maka kamu adalah hamba Allah yang sangat buruk. Jika katamu aku berkata dalam kebenaran, namun jika terlihat pengikutmu jadi melemah dan kamupun jadi ikut melemah maka ini adalah pekerjaan pengecut. Apakah dirimu merasa kekal di alam fana ini? Mati terbunuh adalah lebih baik.” petuah sang ibu panjang lebar. Dan melesatlah sang putra ke medan perang dengan semangat membara.
Ujarnya menjawab nasehat sang ibu,” Demi Allah, inilah pikiran sebenarnya dari ibuku sejati dan sesuai dengan pendapatku. Demi Dzat yang menggugah semangatku hari ini, kini dunia bukan lagi kecenderunganku, namun sekali lagi ananda ingin agar ibu menambah penenangan hatiku, pelita inderaku bila aku terbunuh hari ini, janganlah ibunda bersedih. Serahkanlah semuanya ke hadirat Allah SWT.”
Dilepaslah sang putra dengan rangkaian doa; “ Ya Allah, kasihanilah sepanjang malam guna munajat putraku kehadiratMu. Karena ia termasuk penghilang dahaga bagi penduduk Mekah dan Madinah, dan berbakti kepadaku dan juga ayahnya yang telah Engkau ridhoi sepanjang hidupnya.”
Maka apalagi yang menjadi peran seorang Mar’ah sholihah selain mengarahkan tarbiyah untuk putra-putranya. Memberikan pendidikan yang baik, menjadikan dirinya Ummu Madrasatun. Mengajak seluruh anggota keluarga bercita-cita berkumpul di SyurgaNya. Asma’ binti Abu Bakar, ibunda teladan sepanjang jaman. Mari belajar darinya. Menempa diri menjadi insan berpesona. Selayak syurga untuknya.
Belajar lagi. Mengapa tidak belajar dari Samra’ binti Nahik ? Seorang shahabiyah yang bertemu Rasulullah SAW. Tanpa berpikir untung rugi, bergerak melesat menuju pasar untuk menoreh amal, mengajak muslimah yang lain merasakan indahnya iman. Lihatlah ia yang memakai baju tebal sedang tangannya memegang cemeti. Dia sedang memberi  nasehat kepada orang-orang, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang berbuat kemungkaran. (HR Ath Thabrani dalam Al Kabir XXIV: 311/785 dengan sanad jayyid)
Tentunya masih banyak lagi kisah-kisah menyejarah yang patut kita petik hikmah. Ada  banyak guru sejati dan sekolah berpekerti. Tinggal kita memilih, menjadi apakah kita setelah menimba lautan ilmu. Semakin merunduk seperti padi, ataukah berpongah menepuk dada. Membanggakan gelar yang berderet di belakang. Meminta hak tanpa menunaikan kewajiban. Semestinya, menjadi malulah kita saat catatan amal itu digelar di padang mahsyar. “Engkau telah berbohong, bukankah sewaktu didunia engkau sekolah tinggi-tinggi agar orang menyebutmu orang yang pandai, dan itu telah kau dapat di dunia. Maka lemparkanlah dia ke dalam neraka.” Perintah Allah Sang Pemilik ilmu. Na’udzubillahi tsumma na’udzubillah.                                                                                                                                                    Juni’11