Rabu, 02 Oktober 2013

Antalogi Hati (Eps. Syukur)


 


Antalogi hati
By: Ummu Alim

EPISODE SYUKUR
Banyak bersyukur, itulah pelajaran terakhir hari ini. DiijinkanNya aku menjalani setengah dari dienku di usia yang cukup matang.  Artinya bilangan 26 itu tidak terlalu muda dan tidak disebut perawan tua untuk ukuran jaman sekarang. Aku merasa Allah teramat sayang kepadaku. Begitu cepat doa-doaku terjawab, tanpa aku minta kapan waktu itu akan tiba. Dan cerita tentang sabar dan pasrah telah menghiasi setiap taujih pekananku sedang dorongan untuk hanya mendapatkan apa yang Allah mau dariku berdetak setiap detik hari-hariku.
Ketika seuntai mihnah yang harus aku rasakan kumaknai sebagai obat kala aku resah, maka rasa itu tiba-tiba hilang berganti nikmatnya obat bius penghilang laraku. “Ukhti, insyaalah Allah akan berikan yang terbaik untuk anti, kalau tidak di dunia, nanti Allah akan berikan di akhirat.” Ya, sedangkan bayangan membentuk keluarga sakinah itu bermain-main di pelupuk mataku….., “lihatlah aku mencium tangan suamiku ketika beliau berangkat fii sabiilillah, kuiringi kepergiannya dengan untaian do’a. Kusambut kedatangannya dengan penuh rindu, sedang anak-anak berceloteh dengan keriangannya bermain bersama bunda hari ini, sambil bergelayutan di lengan ayahnya. Lalu dengan lahap, di comotnya bakwan jagung kegemarannya, dan anak-anak berlarian sampai tak sengaja menyenggol bakwan jagung itu hingga menggelinding ke bawah dan akhirnya tergencet kaki-kaki mungilnya, sedang ayahnya tertawa terbahak-bahak melihat  bunda tersenyum kecut atas hasil jerih payahnya berkutat dengan si bakwan seharian di dapur. Lalu menjelang maghrib kita semua bersiap sholat jamaah. Ayah memberi aba-aba agar anak-anak bersiap ke masjid. Dan malamnya sang ayah membangunkan bunda untuk tahajud bersama…, “sampai di situ aku terbangun.
Sore itu ketika taujih pekanan tengah kuikuti, dalam lingkaran ketulusan, sang guru mengingatkan akan visi dan misi hidup berumah tangga. Pekan berikutnya aku menghadapnya, dan pertanyaan itu dilontarkan kepadaku, apakah aku siap mengikuti sunnah Rasulullah membangun mahligai rumah tangga. Dan hari berikutnya kusampaikan aku tak punya alasan untuk tidak menerimanya. Dalam untaian doaku berikutnya aku lebih berharap lagi Allah membimbingku hingga aku cumlaude menghadapi mihnah dariNya.
Sampai hari ini mendampinginya adalah rangkaian cerita yang di sutradaraiNya. Peran dan alur cerita mengalir begitu saja sesuai kehendakNya. Aku harus berperan sebagai permaisuri, sahabat, pelayan setia, yang naskah ceritanya harus kuimprovisasi agar aku cepat dewasa menjalani peran itu. Bersyukur Sang Sutradara mendidikku dengan banyak peluang-peluang kebaikan yang menjadikanku kuat menapak sampai hari ini. Meskipun aku yakin, aku masih harus terus belajar.
Pertunjukan belumlah usai. Kalau dulu aku hanya bermimpi, kini mimpi itu telah terwujud bersama dengan sedikit perubahan disana-sini, tanpa aku pernah menduganya. Bakwan yang tergencet itu adalah kesukaan anak-anak. Aku berusaha menghidangkan tempe goreng kesukaannya setiap kurasakan kehadirannya dirumah. Dan celoteh anak-anak itu nyata kurasakan sekarang, berebut abi di antara punggung dan lengannya adalah nyata di hadapanku. Aku terlalu meledak-ledak ketika kini empat jagoanku nyata Allah berikan padaku. Setiap kehamilan adalah sebentuk kepasrahan, terserah Allah berikan apa untukku dan suamiku. Aku cukup bahagia ketika suamiku serius mendengarkan dokter berkata,”Laki-laki lagi, Bu.”meski tak kulihat ia melonjak kegirangan. Karena aku semakin tahu hatinya, dia lelaki yang tiada keluh.

 





Sebentuk cinta hadir, yang tiba-tiba kurasakan seiring hadirnya rindu kala jauh darinya. Mungkin doa saudara, kerabat dan teman-teman ketika kami mohon restu saat pernikahan dulu untuk sakinah, mawadah dan rahmah mahligai kami dikabulkan Allah sang Pemilik Cinta itu. Apalagi keluarga ini semakin besar dengan hadirnya anak-anak. Cita-cita dan mimpi itu mulai terwujud, bergulir menciptakan mimpi-mimpi baru.
Berganti cerita tentang mihnah, adalah saat aku mulai mengurai satu persatu skenario Allah yang terus berlanjut sampai hari ini. Kadang harus kejar tayang, karena saat itu pula aku harus mengambil keputusan. Dan itulah pelajaran yang telah kuperoleh saat aku tengah mulai bermimpi dahulu. Allah Maha Tahu apa yang aku rasakan. Pencarian jati diri, saling memahami, berpikir, bersikap dan bertindak yang harus terus kuasah agar aku berjalan seperti apa MauNya. Bermain di luar kehendakku, atau kemelut dan konflik batin yang semakin mendewasakanku benar-benar aku rasakan sekarang.
Kalau aku sedang belajar, hari ini aku masih mencoba meluaskan materi syukurku. Bagaimana aku takut untuk kufur  kepadaNya. Banyak kulihat orang-orang yang bersedih karena keluarganya.
Episode pertama tentang pangeranku, ayah anak-anakku:
“Mas, hari ini ummi ada acara sampai maghrib, anak-anak sama mas ya.” pintaku.
“ Ya, dirumah saja sama Abi”.
“Anak-anak ikut Abi saja, kasihan Ummi nanti payah”.
“Ayo….., di mandikan Abi, Ummi repot masak.”
“Sudah ganteng semua, ayo disuapin Abi…siapa yang nambah?”
“Siapa yang kelon Abi?”
Bagaimana aku tidak bersyukur, disampingku ada yang mengeluh betapa sulitnya menghadiri acara dengan menggandeng dan menggendong sedang si adik di perut semakin tumbuh besar.
Episode anak-anak, penyejuk mataku:
“Ummi, aku boleh puasa sebulan penuh ?” ujar si sulung
“Ummi, aku nanti dibangunin tahajud ya,” pintanya
“Ummi, aku sudah bisa naik sepeda roda dua,” teriak yang nomor dua
“Ummi, nasi goreng ummi paling enak sedunia,” timpalnya
“Ummi, ini bunga untuk ummi, ummi paling cantik sedunia,” cetus jagoanku yang ketiga
“Ummi, Tsabit sayang ummi,” celoteh si bungsu

Dan ijinkan saya umminya menangis bahagia, atas semua yang mereka rengekkan pada hari-hariku meniti cinta. Seorang bunda yang terus meminta dengan segala kelemahannya, menjadi ummi yang terbaik untuk mereka, anak-anak masa depanku.



bersambung.....