Rabu, 21 September 2011

Menikmati Syukur

Menikmati Syukur
Oleh: Lenny Oktaviana Dewi,S.Pd

Suatu hari Allah s.w.t. memerintahkan malaikat Jibri a.s. untuk pergi menemui salah satu makhluk-Nya yaitu kerbau dan menanyakan pada si kerbau apakah dia senang telah diciptakan Allah s.w.t. sebagai seekor kerbau. Malaikat Jibril a.s. segera pergi menemui si Kerbau.

            Di siang yang panas itu si kerbau sedang berendam di sungai. Malaikat Jibril a.s. mendatanginya kemudian mulai bertanya kepada si kerbau, "Hai kerbau apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah s.w.t. sebagai seekor kerbau?".
Si kerbau menjawab, "Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah menjadikan aku sebagai seekor kerbau, daripada aku dijadikan-Nya sebagai seekor kelelawar yang ia mandi dengan kencingnya sendiri". Mendengar jawaban itu Malaikat Jibril a.s. segera pergi menemui seekor kelelawar.

            Malaikat Jibril a.s. mendatangi seekor kelelawar yang siang itu sedang tidur bergantungan di dalam sebuah gua. Kemudian mulai bertanya kepada si kelelawar, "Hai kelelawar apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah s.w.t. sebagai seekor kelelawar?".
 "Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah menjadikan aku sebagai seekor kelelawar dari pada aku dijadikan-Nya seekor cacing. Tubuhnya kecil, tinggal di dalam tanah, berjalannya saja menggunakan perutnya", jawab si kelelawar. Mendengar jawaban itu pun Malaikat Jibril a.s. segera pergi menemui seekor cacing yang sedang merayap di atas tanah.

            Malaikat Jibril a.s. bertanya kepada si cacing, "Wahai cacing kecil apakah kamu senang telah dijadikan Allah s.w.t. sebagai seekor cacing?".
 Si cacing menjawab, " Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah menjadikan aku sebagai seekor cacing, dari pada dijadikaan-Nya aku sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramal soleh ketika mereka mati mereka akan disiksa selama-lamanya".
           
            Benarlah sahabat saya yang bertanya, “Apakah kita menjadi bahagia karena bersyukur, ataukah kita bersyukur karena kita bahagia?” Mari kita bertanya pada diri kita sendiri.

            Beberapa saat yang lalu dalam perjalanan mudik saya dan keluarga ke Provinsi Papua Barat, tepatnya di Kampung Desay  Prafi  Manokwari, saya telah belajar menikmati syukur itu. Sebelum keberangkatan kami sekeluarga secara tidak sengaja salah seorang teman di sekolah bertanya hendak kemana mudik tahun ini. Saya sampaikan bahwa saya akan ke kampung suami di Manokwari. ‘Wah Ustadzah, siap aplikasikan syukur, nih.” ujar teman saya tadi. Saya tersenyum dan mengiyakannya dalam hati. Maka saya pun mempersiapkan diri terutama anak-anak yang sudah terbiasa mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat di kota. Maka perjalanan syukur itu akhirnya mengantarkan kami ke desa kecil di timur Indonesia.

            Sebenarnya, untuk menikmati syukur tidak perlulah jauh-jauh seperti yang saya dan keluarga saya lakukan. Tapi, melakukan perjalanan untuk melihat dan menyaksikan ayat-ayat kauniyah itu sering di lakukan oleh para pendahulu kita. Yang pasti, ketika setiap kejadian yang kita dapati menjadikan tumbuh mekarnya iman di dada maka itu adalah  bagian dari hikmah yang kita petik dan bagian dari hidayah kebaikan yang Allah berikan. Seberapapun jengkal yang kita tapakkan dan seberapapun samudra yang kita arung, kalau kita tidak bisa petik kuntum hikmah itu adalah semu bagi bahagia yang terindu.

            Maka, dengarlah celoteh kerbau, kelelawar dan cacing di atas saat ditanya malaikat Jibril. Betapa bahagia mereka menikmati hidup ini. Berbaik sangka, selalu yang terbaik yang Allah pilihkan untuk kita. Maka, menikmati syukur adalah ketika setiap ucapan adalah cerminan apa yang ada dalam hati kita  Alhamdulillah, bahagianya saya yang punya anak banyak, teman saya sudah berbelas tahun menikah belum dikaruniai anak. Alhamdulillah, bahagianya saya yang belum punya anak, sehingga saya bisa lebih lapang waktu, tenaga dan materi untuk membantu saudara-saudara saya. Teman saya bahkan ada yang belum menikah .Alhamdulillah, bahagianya saya meski belum menikah. Saya bisa belajar lebih banyak mempersiapkan diri untuk kehidupan berkeluarga nanti. Saya juga lebih punya banyak waktu untuk berbakti kepada orang tua. Kalau sudah menikah, mungkin saya harus berbagi waktu, tenaga dan pikiran untuk keluarga dan orang tua. Dan masih banyak lagi yang harus kita syukuri.
Miris rasanya mendengar ungkapan cacing kecil di dalam tanah itu, “ Lebih baik menjadi cacing daripada menjadi manusia Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramal soleh ketika mereka mati mereka akan disiksa selama-lamanya".
Naudzubillahi min dzalik, semoga apa yang disampaikan cacing pada malaikat Jibril as tersebut tidak menimpa kita. Semoga kita menjadi bagian dari golongan hamba-hamba Allah yang pandai bersyukur. Selalu ingatlah peringatan dari Allah, “Jika engkau bersyukur,maka akan Aku tambahkan nikmatKu kepadamu, dan jika engkau kufur, sesungguhnya adzabKu sangat pedih.”

            Maka, bertanyalah kepada diri kita sendiri. Untuk hari ini, apakah kita tengah bersyukur karena kita bahagia, ataukah kita bahagia karena kita telah dan tengah bersyukur.
Dan perjalanan syukur itu akhirnya menjadikan kami sekeluarga bahagia setibanya di Malang. Bertemu orang tua dan handai taulan yang sangat kami rindukan selama 10 tahun terakhir. Membawa berlapis hikmah yang kami simpan dalam relung jiwa untuk kami jadikan bekal perjalanan selanjutnya.

Selamat berbahagia menikmati syukur.
Taqobalallahu minna wa minkum.Taqobal Yaa Kariim.

Rabu, 29 Juni 2011

Yuk, belajar lagi...!

Yuk….Belajar (lagi) !
(Oleh: Lenny Oktaviana Dewi,S.Pd)
                Dalam sebuah kesempatan pertemuan dengan ibu-ibu pengajian bulanan, saya di tantang untuk kuliah lagi. Karena jaman sekarang Sarjana S1 sudah tidak ada bedanya dengan lulusan SMU.
”Ayo, Bu Lenny, mumpung masih muda. Siapa tahu bisa nambahin kredit point dan gajinya tambah gedhe!” celoteh si ibu dengan semangat. Kebetulan ibu tersebut  juga sedang kuliah S2. Saya tertawa kecil menanggapi penuturannya.  Dalam hati saya mengiyakan statement beliau untuk kuliah (baca= belajar) lagi. Karena sesungguhnya saya juga sangat ingin kembali merasakan jenak-jenak menikmati bangku kuliah seperti dulu. Tapi mungkin Allah belum mengijinkan untuk saat ini. Saya butuh waktu untuk memanage semuanya termasuk diri dan keluarga. Dan yang terpenting saya tidak ingin niatan belajar lagi itu hanya  semata mendapat kredit point atau tambahnya gaji. Biarlah yang itu mengikuti setelah tujuan saya belajar lagi itu karena sungguh Allah ridha dengan saya. Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu…. Itu janjiNya dalam Al Quran.
Saya ingin ilmu yang saya peroleh membawa keberkahan dalam rentang hidup saya hingga hari akhir nanti. Saya ingin ilmu yang saya dapat menjadikan saya semakin faham hakekat diri dan kehidupan. Sebagaimana para shahabiyah yang karena kefahaman akan ilmunya menjadikan mereka wanita-wanita teladan kebaikan sampai hari ini. Memberikan peran penting dalam mengantar diri dan keluarganya terbebas dari siksa api neraka. …” Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri dan keluargamu dari  api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan k eras yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahriim:6)
Maka lihatlah Ummu Sulaim yang meminta mahar kepada Abu Thalhah yang berkehendak memintanya menjadi istri. “Aku akan menikahimu asal kau bersyahadat tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah”, pintanya tegas. Dan Abu Thalhah pun mengiyakannya. Kalau bukan karena kefahaman akan diennya, tiada mungkin terucap kalimat luar biasa seperti itu. Maka, Ummu Sulaim adalah pembelajar sejati. Ilmu yang mendatangkan kefahaman menggelorakan iman yang melesak ke dalam sanubari. Menjadikan ia perempuan dengan mahar  termahal sepanjang sejarah hidup ini. Belajar kepada Ummu Sulaim, karena Ummu Sulaim belajar mengenal Allah dalam bangku kuliahnya. Belajar untuk menjadikan dirinya lebih memahami diennya, agama yang lurus ini.
Gempita meriah pesta walimah telah usai, maka  kebahagiaan merajai  kedua mempelai. Malam indah  terasa penuh bunga.  Semerbak harumnya menjadikan pengantin itu merasa betah berlama dalam peluk dan cinta. Tapi, genderang perang tengah ditabuh. Panggilan jihad tak mengenal kata tunggu dulu, aku sedang bercumbu rayu. Relakah peluk sang kekasih terurai demi janjiNya? Bersua para pendahulu syuhada yang telah bertemu bidadari di syurgaNya. Dan, dengarlah untaian indah sang pujaan hati yang begitu mengenal cinta dan rindu kepada Allah,”Pergilah kakanda, adinda menunggu dipintu syurga.” Melepas peluk tanda ikhlas, mengantar suami yang baru menikahinya beberapa saat lalu. Bahkan jenak rindupun belum sempat tertitipkan pada malam. Melesatlah sang pujaan ke medan juang yang menantang. Handzolah sang pejuang, mengirim kabar kesyahidan pada sang istri tersayang. Tersanding senyum Rasulullah menyaksikan malaikat memandikan sang syuhada. Karena  janabat belumlah sempat, berlari  memburu harum kesturi yang memikat. Duhai, wanita seperti apa istri sang syuhada. Mulianya tiada tandingan hingga hari ini. Mungkin kita bisa belajar darinya. Istri Handzolah yang berkalung ikhlas melepas kekasih pujaan. Mengantarkan pada kesyahidan. Sungguh Allah pasti menyandingkan mereka berdua. Sejoli cinta sampai negeri abadi. Mari kita belajar darinya. Kalau bukan karena kefahamannya akan ilmu , tiada mungkin istri syuhada itu menjadi begitu bijak melepas suami.
Ada lagi kisah seorang ibu yang meredam kemanjaan sang putra agar kembali ke medan jihad. Abdullah bin Zubair sang putra merasa melemah. Didatanginya pangkuan ibu berharap pembelaan darinya. “Wahai Ibu, kini manusia telah menghina diriku. Pengikutku makin menipis. Kekuatan kami mungkin hanya bertahan sampai hari ini. Sedang musuh masih menawarkan dunia, bila kuturuti kehendaknya bagaimana pendapatmu?”
“Demi Allah wahai anakku jika tahu dirimu dalam kebenaran dan disitulah tujuanmu, teruskanlah! Namun jika tujuanmu adalah duniawi semata, maka kamu adalah hamba Allah yang sangat buruk. Jika katamu aku berkata dalam kebenaran, namun jika terlihat pengikutmu jadi melemah dan kamupun jadi ikut melemah maka ini adalah pekerjaan pengecut. Apakah dirimu merasa kekal di alam fana ini? Mati terbunuh adalah lebih baik.” petuah sang ibu panjang lebar. Dan melesatlah sang putra ke medan perang dengan semangat membara.
Ujarnya menjawab nasehat sang ibu,” Demi Allah, inilah pikiran sebenarnya dari ibuku sejati dan sesuai dengan pendapatku. Demi Dzat yang menggugah semangatku hari ini, kini dunia bukan lagi kecenderunganku, namun sekali lagi ananda ingin agar ibu menambah penenangan hatiku, pelita inderaku bila aku terbunuh hari ini, janganlah ibunda bersedih. Serahkanlah semuanya ke hadirat Allah SWT.”
Dilepaslah sang putra dengan rangkaian doa; “ Ya Allah, kasihanilah sepanjang malam guna munajat putraku kehadiratMu. Karena ia termasuk penghilang dahaga bagi penduduk Mekah dan Madinah, dan berbakti kepadaku dan juga ayahnya yang telah Engkau ridhoi sepanjang hidupnya.”
Maka apalagi yang menjadi peran seorang Mar’ah sholihah selain mengarahkan tarbiyah untuk putra-putranya. Memberikan pendidikan yang baik, menjadikan dirinya Ummu Madrasatun. Mengajak seluruh anggota keluarga bercita-cita berkumpul di SyurgaNya. Asma’ binti Abu Bakar, ibunda teladan sepanjang jaman. Mari belajar darinya. Menempa diri menjadi insan berpesona. Selayak syurga untuknya.
Belajar lagi. Mengapa tidak belajar dari Samra’ binti Nahik ? Seorang shahabiyah yang bertemu Rasulullah SAW. Tanpa berpikir untung rugi, bergerak melesat menuju pasar untuk menoreh amal, mengajak muslimah yang lain merasakan indahnya iman. Lihatlah ia yang memakai baju tebal sedang tangannya memegang cemeti. Dia sedang memberi  nasehat kepada orang-orang, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang berbuat kemungkaran. (HR Ath Thabrani dalam Al Kabir XXIV: 311/785 dengan sanad jayyid)
Tentunya masih banyak lagi kisah-kisah menyejarah yang patut kita petik hikmah. Ada  banyak guru sejati dan sekolah berpekerti. Tinggal kita memilih, menjadi apakah kita setelah menimba lautan ilmu. Semakin merunduk seperti padi, ataukah berpongah menepuk dada. Membanggakan gelar yang berderet di belakang. Meminta hak tanpa menunaikan kewajiban. Semestinya, menjadi malulah kita saat catatan amal itu digelar di padang mahsyar. “Engkau telah berbohong, bukankah sewaktu didunia engkau sekolah tinggi-tinggi agar orang menyebutmu orang yang pandai, dan itu telah kau dapat di dunia. Maka lemparkanlah dia ke dalam neraka.” Perintah Allah Sang Pemilik ilmu. Na’udzubillahi tsumma na’udzubillah.                                                                                                                                                    Juni’11









Selasa, 31 Mei 2011

Agar Cinta menjadi Tidak Biasa

Agar Cinta Menjadi Tidak Biasa
(Oleh: Lenny Oktaviana Dewi, S.Pd)
Suatu hari….menjelang hari Idul Fitri seorang anak tampaknya sangat sedih. Ia menangis tersedu-sedu…..Ada apa ya dengan anak itu…?
                Saat itu tampak rasulullah, Nabi Muhammad SAW sedang berjalan-jalan di kota Mekah. Ketika Nabi melihat anak yang menangis itu Nabi segera mendekati dan bertanya, “Kenapa engkau menangis nak…? Apa yang kau tangiskan…?”
Anak itu menjawab, “Ayah dan Ibu saya sudah tidak ada, sedang hari Raya sudah dekat….Saya lihat teman-teman saya bergembira dengan ayah, ibu dan keluarga mereka. Saya sedih tidak ada Ayah dan Ibu yang mengasuh dan memelihara saya, tidak ada keluarga yang member i  saya makan…”
                Mendengar itu Rasulullah sangat terharu. Dibujuknya anak itu. Dipeluknya dengan penuh sayang. Diusap-usapnya kepala anak itu sambil berkata, “Sekarang berhentilah menangis, nak. Maukah engkau menjadikan Muhammad ini Ayahmu? Aisyah menjadi Ibumu dan Fatimah menjadi saudaramu?
                Anak itu terkejut dan segera berhenti menangis. Dia tidak menyangka ternyata orang yang membujuknya, yang membelai-belai rambutnya adalah Rasulullah, Nabi Muhammad SAW yang tentu saja dia mau…
                Menjadi anak dari orang yang mulia, betapa senangnya  merasakan mempunyai ayah, ibu dan keluarga kembali.
                Nabi segera membawa anak itu pulang. Sesampainya di rumah, anak itu segera dibersihkan badannya oleh Ibunda Aisyah dan di pakaikan dengan pakaian yang bersih. Wajah anak itupun berseri karena gembira. Semenjak itu dia tinggal bersama keluarga Nabi. Nabi lah yang menjaga dan memelihara anak itu.
                Menjadi Ibu yang mencintai anak-anak buah hatinya adalah peran yang sangat istimewa dan tentu saja sangat mulia di sisi Allah SWT. Apalagi jika menjadikan dirinya sebagai Ummu Madrasatun, sekolah bagi anak-anaknya. Peran seorang ibu yang acapkali di sebut sebagai  Tiang Negara sangatlah benar. Jika pendidikan anak-anak begitu dipercayakan penuh padanya agar  Negara ini menjadi Baldatun Toyyibatun wa Rabbun Ghafurun , maka tugas mana lagi yang akan diemban seorang wanita muslimah selain menjadikan dirinya Ibu yang baik dan multi peran dalam pengasuhan anak-anaknya.
                Menjadi sangat wajar dan biasa ketika ia mencintai anak-anak yang terlahir dari rahimnya. Ia sudah mengandung dan merawat dengan segenap jiwanya. Sejak dari  kandungan dalam keadaan susah dan semakin bertambah dari hari kehari hingga berganti bulan, sampai  genaplah hitungan ke sembilan bulannya lebih sepuluh hari. Menahan sakit dan penuh perjuangan saat melahirkannya. Masih di tambah merawat dan menjaganya sampai si Buah Hati beranjak dewasa. Saat ia sudah bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Seorang Ibu memang luar biasa. Semoga Allah terus menjaga keikhlasannya.
                Menjadi tidak biasa, ketika seorang Ibu bisa berbagi cinta dengan anak orang lain. Anak –anak yang mungkin tidak mendapat kesempatan mendapatkan Ibu yang baik, keluarga yang menyayangi dan lingkungan yang nyaman untuknya. Berbagi kebahagiaan, mencintai seperti anaknya sendiri. Semoga Allah merahmati Ibu-ibu luar biasa ini.
                Rasulullah berwasiat pada kita, “Barang siapa yang menyayang, maka dia akan di sayang.” Bukan sebuah kebetulan ketika kita menghampiri kemudian mengulurkan tangan kita penuh kasih, untuk mampu membelai  kemudian menyantuni anak-anak kurang beruntung tadi. Ada sebuah proses untuk  memulai dan menjadi sebuah kebiasaan baik untuk segera dilakukan.
                Rasulullah SAW bersabda: “Saya dan orang yang menyantuni anak yatim seperti ini “– beliau memberikan isyarat dengan telunjuk dan jari tengah dan merenggangkan diantara keduanya.
“Barangsiapa menggabungkan seorang anak yatim diantara kaum muslimin dalam makan dan minumnya sehingga dia berkecukupan, maka baginya surga.”
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW mengadukan tentang hatinya yang membatu, maka Nabi SAW bertanya kepadanya; “Apakah kamu menjadi lembut dan kamu mendapatkan hajatmu (keperluanmu)? Rahmatilah anak yatim, usaplah kepalanya dan berikanlah makan kepadanya dari makananmu, niscaya hatimu menjadi lembut dan niscaya kamu akan mendapatkan hajatmu.”
                Wahai muslimah, ditanganmu ada kelembutan yang bermuara di hatimu. Tidakkah kalian ingin berdampingan dengan Rasulullah di surgaNya? Inginkah pintu surga terbuka lebar untukmu? Maka, lembutkan hatimu dengan menabur cinta untuk anak-anak itu. Anak-anak selain anak-anak kita sendiri. Agar hati kita terasah kelembutannya.  Agar cinta kita menjadi tidak biasa.                    
  (Malang, Apr’11)


Membersamai Malaikat

Membersamai Malaikat
Oleh: Lenny Oktaviana Dewi, S.Pd
                Ali Mutawali Ali pernah memberikan nasihat pada kaum perempuan: “Kalian dapat merasakan kehadiran malaikat jika perasaan kalian lembut, terbiasa beribadah dan jiwa kalian telah mencapai kepatuhan yang tinggi pada Allah SWT. Sehingga semangat kalian tidak pernah padam berkat ketangguhan dan kebiasaan. Kalian memiliki budi pekerti yang mulia berkat ketenangan, toleransi, suka memaafkan, kasih sayang dan ketaqwaan. Kalian pun sering melaksanakan sholat malam, menangis dalam kesendirian, merindukan bertemu Allah dan memiliki kecintaan yang begitu membara pada Allah SWT. Kalian akan merasakan alam ghaib itu seolah-olah dapat disaksikan oleh penglihatan biasa.”
                Dalam setiap sisi kehidupan perempuan yang menarik, pastilah ada rahasia dibaliknya. Mengapa perempuan menjadi istimewa, adakah motivasi yang melatar belakanginya? Membersamai malaikat adalah salah satunya.
                Kekhasan perempuan adalah pembawaannya yang lembut. Jiwa-jiwa yang terasah dengan kepekaan, mudah tersentuh dan tergerak hati, empati yang berbuah simpati  sangat mungkin kita miliki. Apalagi pada setiap perempuan yang telah diberi amanah anak dalam kehidupannya. Bergaul dan bersentuhan langsung dengan anak-anak menjadikan jiwa dan perasaan kita lembut. Perasaan itu terasah secara alami dalam jiwa-jiwa kita.
                Sementara itu, lembutnya jiwa adalah efek dari menjalani  ibadah dalam setiap dimensi kehidupan kita. Dan itu artinya memaknai ibadah kita adalah menjadikan aktivitas kita dari bangun  tidur hingga berangkat tidur lagi semata mengharapkan keridhoan Allah SWT. Setelah memuji Allah SWT dalam jaga, maka aktivitas selanjutnya adalah menjadi ahli ibadah sepanjang hayat kita. Semua terbingkai dalam tasbih, tahmid dan takbir. Maka insyaallah setiap jenak hidup kita tak ada yang sia-sia.
                Muslimah sholihat, qonitat dan mukminat adalah sebaik-baik perhiasan. Begitu Rasulullah SAW menggambarkan tentang keindahan fatamorgana dunia. Dan semua itu bisa diperoleh karena kita mempunyai keindahan budi pekerti. Budi pekerti yang berarti akhlaq adalah sebuah spontanitas tanpa disengaja terlebih dahulu. Bagaimana itu bisa menjadi milik kita? Mari kita belajar untuk mengasah jiwa dengan ketenangan. Belajar mengendalikan amarah dan melatih kesabaran kita. Motivasi besar dari Allah SWT dalam firmanNya: “ Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu  dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertaqwa. (Yaitu)  yang menginfaqkan hartanya  di waktu lapang dan sempit dan yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.  (QS: Ali Imron ayat 133-134)
                Pelaku kebaikan adalah pemilik taqwa. Dan dengan ketaqwaan itulah kita akan membersamai malaikatNya. Berlaku baik bisa dilakukan siapa saja, dimana saja dan dalam dimensi apa saja. “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl:97)
                Sekali lagi tentang kelembutan jiwa. Membersamai malaikat adalah ketika kita mengetuk sepertiga malam terakhir dalam kesendirian. Memuji keharibaanNya. Mengadukan kesah dan syukur kita. Menghiba dan terus tengadah pinta. Kiranya Allah berkenan turunkan rahmatNya. Melalui malaikat yang sentiasa patuh dan taat tanpa nafsu bergeliat.
Merasakan alam gaib itu, adalah saat kita cucurkan air mata. Mengingati dosa dan khilaf tersesal. Mengharap Sang Pemaaf menerima taubat dan tunduk hina kita. Perempuan yang lembut jiwanya. Menjadikan tetes air matanya sebagai pemadam api neraka. Terus mencoba berbenah dan mengasah peka. Sesungguhnya hati yang gelisah karena dosa meski hanya seberat dzarah tak akan menyesal mencucurkan setiap tetesnya.
Karenanya setiap motivasi yang mendatangkan kebaikan dari hari kehari harus menjadi milik kita. Dan kehadiran alam gaib itu adalah motivasi besar kita. Sebagaimana generasi para sahabat yang tiada tandingannya hingga detik ini. Mereka bergerak dan terus melangkahkan jengkal kakinya mendekati surga. Melihat seakan-akan surga  ada di depan mata. Sebuah energi yang luar biasa. Karena mereka merasakan kehadiran alam gaib dalam setiap desah nafasnya.
Kelembutan jiwalah yang menjadikan perempuan seperti Ummu Sulaim mampu mengolah rasa. Bagaimana mungkin jiwa yang biasa-biasa saja mampu menuturkan sedih dan kehilangan dengan sebuah pekerti yang bijak bestari. Betapa indahnya pemilik kelembutan itu bertutur saat anak yang dicintainya diambil Sang Pemilik jiwa. Di sampaikannya dengan hati-hati setelah melayani sang suami,   “Wahai suamiku, apa yang kita lakukan saat kita diberi titipan oleh seseorang?” tanyanya membuka dialog cinta.
“Kita akan menjaganya dengan baik,” jawab Abu Thalhah suaminya.
“Jika pemilik titipan itu meminta dan mengambil kembali barang yang dititipkannya pada kita, apa yang kita lakukan?” tanya Ummu Sulaim lagi.
Abu Thalhah sang suamipun menjawab,”Kita akan berikan dan kembalikan.”
“Suamiku, sesungguhnya  Allah telah meminta kembali anak yang dititipkannya pada kita semalam,” tutur Ummu Sulaim selanjutnya. Betapa terkejut dan marahnya Abu Thalhah mendengar penuturan sang istri. Dengan berang dilaporkannya kepada Rasulullah atas perbuatan istrinya yang mengabarkan berita kematian anak mereka setelah apa yang telah mereka lakukan berdua saat itu. Baginda Rasulullah tersenyum arif dan berkata,”Semoga Allah merahmati dan memberkahi apa yang telah kalian lakukan semalam.”
Menjadikan Malaikat sebagai karib kita bukan sebuah keniscayaan. Masih ada kesempatan berteman dan membersamainya dalam hari-hari kita menuju perjumpaan dengan Allah SWT. Semoga jiwa-jiwa yang taat dan patuh milik malaikat mampu menyublim kedalam lubuk hati kita. Karena membersamainya adalah asa jiwa-jiwa yang taqwa. Adakah bekal yang lebih baik dari bekal taqwa itu sendiri?            “Dan berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa,”  (QS. 2:197)                                                                                                                                                                                                       Malang. Mei 2011