Rabu, 21 September 2011

Menikmati Syukur

Menikmati Syukur
Oleh: Lenny Oktaviana Dewi,S.Pd

Suatu hari Allah s.w.t. memerintahkan malaikat Jibri a.s. untuk pergi menemui salah satu makhluk-Nya yaitu kerbau dan menanyakan pada si kerbau apakah dia senang telah diciptakan Allah s.w.t. sebagai seekor kerbau. Malaikat Jibril a.s. segera pergi menemui si Kerbau.

            Di siang yang panas itu si kerbau sedang berendam di sungai. Malaikat Jibril a.s. mendatanginya kemudian mulai bertanya kepada si kerbau, "Hai kerbau apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah s.w.t. sebagai seekor kerbau?".
Si kerbau menjawab, "Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah menjadikan aku sebagai seekor kerbau, daripada aku dijadikan-Nya sebagai seekor kelelawar yang ia mandi dengan kencingnya sendiri". Mendengar jawaban itu Malaikat Jibril a.s. segera pergi menemui seekor kelelawar.

            Malaikat Jibril a.s. mendatangi seekor kelelawar yang siang itu sedang tidur bergantungan di dalam sebuah gua. Kemudian mulai bertanya kepada si kelelawar, "Hai kelelawar apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah s.w.t. sebagai seekor kelelawar?".
 "Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah menjadikan aku sebagai seekor kelelawar dari pada aku dijadikan-Nya seekor cacing. Tubuhnya kecil, tinggal di dalam tanah, berjalannya saja menggunakan perutnya", jawab si kelelawar. Mendengar jawaban itu pun Malaikat Jibril a.s. segera pergi menemui seekor cacing yang sedang merayap di atas tanah.

            Malaikat Jibril a.s. bertanya kepada si cacing, "Wahai cacing kecil apakah kamu senang telah dijadikan Allah s.w.t. sebagai seekor cacing?".
 Si cacing menjawab, " Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah menjadikan aku sebagai seekor cacing, dari pada dijadikaan-Nya aku sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramal soleh ketika mereka mati mereka akan disiksa selama-lamanya".
           
            Benarlah sahabat saya yang bertanya, “Apakah kita menjadi bahagia karena bersyukur, ataukah kita bersyukur karena kita bahagia?” Mari kita bertanya pada diri kita sendiri.

            Beberapa saat yang lalu dalam perjalanan mudik saya dan keluarga ke Provinsi Papua Barat, tepatnya di Kampung Desay  Prafi  Manokwari, saya telah belajar menikmati syukur itu. Sebelum keberangkatan kami sekeluarga secara tidak sengaja salah seorang teman di sekolah bertanya hendak kemana mudik tahun ini. Saya sampaikan bahwa saya akan ke kampung suami di Manokwari. ‘Wah Ustadzah, siap aplikasikan syukur, nih.” ujar teman saya tadi. Saya tersenyum dan mengiyakannya dalam hati. Maka saya pun mempersiapkan diri terutama anak-anak yang sudah terbiasa mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat di kota. Maka perjalanan syukur itu akhirnya mengantarkan kami ke desa kecil di timur Indonesia.

            Sebenarnya, untuk menikmati syukur tidak perlulah jauh-jauh seperti yang saya dan keluarga saya lakukan. Tapi, melakukan perjalanan untuk melihat dan menyaksikan ayat-ayat kauniyah itu sering di lakukan oleh para pendahulu kita. Yang pasti, ketika setiap kejadian yang kita dapati menjadikan tumbuh mekarnya iman di dada maka itu adalah  bagian dari hikmah yang kita petik dan bagian dari hidayah kebaikan yang Allah berikan. Seberapapun jengkal yang kita tapakkan dan seberapapun samudra yang kita arung, kalau kita tidak bisa petik kuntum hikmah itu adalah semu bagi bahagia yang terindu.

            Maka, dengarlah celoteh kerbau, kelelawar dan cacing di atas saat ditanya malaikat Jibril. Betapa bahagia mereka menikmati hidup ini. Berbaik sangka, selalu yang terbaik yang Allah pilihkan untuk kita. Maka, menikmati syukur adalah ketika setiap ucapan adalah cerminan apa yang ada dalam hati kita  Alhamdulillah, bahagianya saya yang punya anak banyak, teman saya sudah berbelas tahun menikah belum dikaruniai anak. Alhamdulillah, bahagianya saya yang belum punya anak, sehingga saya bisa lebih lapang waktu, tenaga dan materi untuk membantu saudara-saudara saya. Teman saya bahkan ada yang belum menikah .Alhamdulillah, bahagianya saya meski belum menikah. Saya bisa belajar lebih banyak mempersiapkan diri untuk kehidupan berkeluarga nanti. Saya juga lebih punya banyak waktu untuk berbakti kepada orang tua. Kalau sudah menikah, mungkin saya harus berbagi waktu, tenaga dan pikiran untuk keluarga dan orang tua. Dan masih banyak lagi yang harus kita syukuri.
Miris rasanya mendengar ungkapan cacing kecil di dalam tanah itu, “ Lebih baik menjadi cacing daripada menjadi manusia Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramal soleh ketika mereka mati mereka akan disiksa selama-lamanya".
Naudzubillahi min dzalik, semoga apa yang disampaikan cacing pada malaikat Jibril as tersebut tidak menimpa kita. Semoga kita menjadi bagian dari golongan hamba-hamba Allah yang pandai bersyukur. Selalu ingatlah peringatan dari Allah, “Jika engkau bersyukur,maka akan Aku tambahkan nikmatKu kepadamu, dan jika engkau kufur, sesungguhnya adzabKu sangat pedih.”

            Maka, bertanyalah kepada diri kita sendiri. Untuk hari ini, apakah kita tengah bersyukur karena kita bahagia, ataukah kita bahagia karena kita telah dan tengah bersyukur.
Dan perjalanan syukur itu akhirnya menjadikan kami sekeluarga bahagia setibanya di Malang. Bertemu orang tua dan handai taulan yang sangat kami rindukan selama 10 tahun terakhir. Membawa berlapis hikmah yang kami simpan dalam relung jiwa untuk kami jadikan bekal perjalanan selanjutnya.

Selamat berbahagia menikmati syukur.
Taqobalallahu minna wa minkum.Taqobal Yaa Kariim.