Kamis, 20 September 2012

Ketika Cinta Harus Ummi


KETIKA CINTA HARUS UMMI
(Lenny Oktaviana Dewi, S.Pd)

                Suatu hari, saya begitu terusik dengan pertanyaan putraku yang ketiga…,”Ummi, besok aku menikahnya dengan siapa ya?”
“Hmm…., “jawabku tak acuh tanpa melihatnya. Terus terang saya agak kaget dan tak mau putraku melihat ekspresi  umminya waktu itu.
“Bagaimana kalau dengan ….(menyebutkan salah satu teman bermainnya sejak TK yang sekarang menjadi temannya di SD juga)”
Sambil menata hati dan mencoba berpikir cepat mencari jawaban untuknya, saya mulai mencari bola matanya yang begitu polos dan berpijar gemerlap. “Bagaimana, kalau kakak sekolah dulu yang pinter kemudian jadi mujahid kaya Abi, terus nanti insyaallah kalau Allah berkenan , kakak minta sama Allah, berdoa sungguh-sungguh supaya dipertemukan Allah “teman” yang buuaaaiiiik sekali yang mau menemani kakak sampai negeri akherat.” jawabku diplomatis.
                “Berarti masih lama ya Mi….harus dewasa dulu kaya Abi sama Ummi,” tanyanya kemudian.
“Ya sayang…., karena menikah itu adalah sebuah pekerjaan yang besar. Dan semua akan  dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Makanya yang mau menikah harus tahu dulu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang baik dan mana yang buruk. Yang jelas, kakak harus banyak belajar dulu.” ujarku kemudian. Kulihat  si Kakak  terbengong-bengong mencoba mencerna petuahku.
“Eh,….memangnya kenapa sih, kok Kakak tiba-tiba pingin nikah? Masih SD lagi…” tanyaku penuh selidik.
“Ehm,….soalnya aku pingin nanti ajak anak-anakku jalan-jalan ke Pasar Minggu.” jawabnya malu-malu.
Walah….walah, aku pun terbahak mendengar jawabannya yang lugas itu. Wong pingin minta jalan-jalan aja kok mikirnya kreatif banget. Ah, indahnya bercengkerama dengan anak-anak.
                Sesaat setelah itu, saya pun mulai membayangkan jika anak-anak sudah dewasa nanti. Dari retiap perbincangan yang kuikuti dan amati mereka sudah mulai berbicara malu-malu jika menyangkut teman perempuan baik di sekolah atau di lingkungan bermainnya. Saya tidak mau berpikir terlalu jauh tentang ini. Ah, biasa anak-anak… selalu begitu. Saya akan berkomentar ketika sudah mulai menjurus agak jauh, meluruskan jika mereka terlalu asyik dengan topik itu. Atau melerainya ketika akhrnya ada yang marah dan tersinggung karena “si dia”
Lalu perlahan, ketika saatnya mereka sudah “adem” saya bercerita tentang kisah sahabat yang bertanya pada Rasulullah saw :
,Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?”
Jawab Rasulullah, “Ibumu.”
Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.”
Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.”
Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ayahmu.”
Kupandangi wajah mereka satu persatu, di dalam hati aku bergumam, Masyaallah apakah aku akan kehilangan mereka setelah mereka menemukan tambatan hati dan menikah? Seperti inikah hati Ibuku dulu saat aku dipinang Abinya?
Egoku pun berbicara, bukankah aku ibunya lebih berhak atasnya, karena telah mengandung, melahirkan dan membesarkannya selama ini….Yah, ternyata aku pun cemburu pada anak-anakku. Lalu, kujelaskan perlahan, bahwa jika sudah tiba saatnya Allah akan menunjukkan siapa pendamping hidup kita kelak, yang sudah ditentukan jauh sebelum kita lahir tentang jodoh, rezeki, hidup dan mati. Ummi hanya bisa mendoakan Allah berikan yang terbaik untuk anak-anak Ummi. Karena Ummi yakin, laki-laki yang baik pasti untuk wanita yang baik. Dan laki-laki yang buruk untuk wanita yang buruk juga. Serta sebaliknya. Maka tugas Ummi dan Abi sekarang adalah mengantarkan anak-anak mencintai Allah dan Rasulnya terlebih dulu, insyaallah cinta kepada “teman” tadi akan mengikuti kemudian. Mencintai pasangan setelah mencintai Allah, Rasul dan jihad di jalanNya.
Hmmm…..pelajaran hari itu sementara cukup, saya yakin, seiring berjalannya waktu, ketika perlahan mereka tumbuh dewasa, pertanyaan yang lebih rumit pasti akan mencercaku…dan semoga saya sudah punya jawaban saat itu. Sebagai orang tua betapa inginnya anak-anak selalu bertanya padaku, agar tidak salah mereka mendapat jawaban. Aku ingin anak-anak terbuka dan mencurahkan seluruh isi hatinya pada aku, ibunya, agar aku bisa tetap menjaganya dan merasakan cintanya padaku. Sehingga aku tidak perlu cemburu.
Ya Allah, ijinkan kami mendapatkan keberkahan dengan hadirnya anak-anak penyejuk mata kami kedua orang tuanya. Aamiiin.
 


@Ode, Sept’12