Kamis, 09 Desember 2010

Alim Sayang Adik


Alim Sayang Adik
          Perkenalkan, namaku Alim. Aku kelas tiga Sekolah Dasar. Aku sulung dari empat bersaudara, adikku semuanya laki-laki. Bundaku cerita, setiap menjelang kelahiran adik-adikku, aku selalu di tanya, “Mas Alim ingin adik perempuan apa laki-laki ?” tanya Bundaku sambil melirik Ayah.
“Laki-laki, Bun.” jawabku tangkas.
“Kenapa?” tanya Bunda sekali lagi.
 “Iya, biar Alim bisa ajak main bola, main sepeda, dan main ayah-ayahan.” ujarku bersemangat. Lalu bunda pun tergelak bersama ayah mendengar jawabanku.
          Sebetulnya itu jawaban ketika adik keempatku akan lahir. Waktu kehamilan Bunda yang  kedua dan ketiga aku menjawabnya asal saja, aku menjawab pertanyaan yang terakhir. Kalau pertanyaannya perempuan apa laki-laki, maka jawabanku adalah laki-laki, kalau pertanyaannya laki-laki apa perempuan, maka jawabanku bisa perempuan juga bisa laki-laki, tergantung mauku apa. Jarak kelahiran adik-adikku memang dekat. Aku dan adikku yang nomor dua hanya berjarak satu tahun persis. Kata Bunda, sewaktu aku masih berumur 3 bulan, Bunda sudah mengandung bakal calon adikku yang kedua.Waktu itu Eyang Putri berpesan,”Bunda kesundulan, kamu ndak boleh gendong Bunda lagi ya le…, kasihan adiknya yang di perut bunda,” begitu Eyang Putri menasehatiku. Dan aku hanya bengong melihat Bunda tergolek lemas, setelah mengajakku ke kampus, karena Bunda memang masih kuliah ketika menikah dengan Ayah dan punya anak aku. Begitu adik kedua ku lahir tepat aku berusia satu tahun, aku merasa punya teman bermain yang asyik. Karena Bunda selalu memintaku membantunya menjaga adik. Tapi lihatlah, aku selalu menjilati pipinya, dengan alasan mau menciumnya. Atau tidak sengaja aku membuatnya menangis karena aku berteriak terlalu kuat sehingga membangunkan tidur lelapnya. Setelah Bundaku lulus kuliah dan mulai bekerja, aku dan dan adikku sering diajak ke sekolah tempat Bunda mengajar, sekalian kami disekolahkan di sana. Aku senang sekali bisa bersama-sama adikku sepanjang hari.
          Dua tahun setelah adik keduaku lahir, Bunda melahirkan adikku yang ketiga, dan laki-laki lagi. Aku senang bukan kepalang, teman bermainku bertambah lagi. Aku sudah menduga kalau adikku yang ini juga laki-laki, karena Bunda sering mengajakku ke dokter dan menanyakan ke dokter kemungkinan jenis kelamin adikku yang ketiga. Lagi-lagi aku melihat senyum Ayah dan Bunda yang selalu mensyukuri apapun yang Allah berikan untuk kami. Itu juga yang Ayah sampaikan kepadaku. “Anak adalah rezeqi, dan amanah dari Allah, kita harus mensyukurinya dan menjaganya dengan baik,” petuah Ayahku panjang lebar. Dan aku mencoba memahaminya meskipun kata-kata itu terlalu sulit dimengerti oleh anak seusiaku.
“Mas Alim mau bantu Ayah dan Bunda ?” tanya Ayah suatu hari, dan aku mengangguk cepat. “Jadi anak yang sholih dan berbakti pada orang tua. Mas Alim bisa ?”pinta Ayah lagi.
 “Bisa”, jawabku mantap.
 “Hebat anak Ayah.” puji Ayah sambil mengacak rambutku. Lalu kami pun toast sambil tertawa.
          Nah, adikku yang keempat lebih hebat lagi, apa-apa mintanya sama denganku. Aku ikut menjaga Bunda di rumah sakit menjelang kelahirannya Aku melihat sendiri bagaimana Bunda meringis menahan sakit. Aku jadi ingin ikut menangis, kasihan melihat Bunda. Kata Ayah, laki-laki tidak boleh cengeng, “Kita doakan bunda dan adik saja,” saran Ayah, aku mengangguk cepat mengiyakan petuah Ayah. Setelah kejadian itu aku semakin tahu, Bunda pasti sangat menyayangi kami anak-anaknya, bagaimana tidak,  aku melihat sendiri senyum bahagianya setelah adikku terlahir ke dunia. Aku ikut bahagia melihat adikku laki-laki lagi.
Pernah aku diajak ayah pergi keluar kota selama tiga hari. Rasanya rindu sekali ingin cepat pulang, kangen dengan adik-adik dan tentu saja Bundaku. Karena aku anak yang paling besar, Ayah dan Bunda sering menitipkan “sesuatu” untukku. Misalnya,”Mas, Bunda titip adik ya, tolong  di jaga.”
Atau,” Mas, Ayah mau pergi ke luar kota, titip Bunda dan adik-adik ya. Mas nurut sama Bunda, kalau adik bertengkar kamu yang melerai  Kasihan Bunda, sudah capai seharian di sekolah.”
Dan aku akan menjawab sambil membusungkan dada,”Siap Bos!” tukasku, lalu ayah akan mengajak toast lebih keras denganku.
          Aku bangga sekali mendapat “titipan” itu. Aku merasa telah menjadi laki-laki dewasa, yang bisa menggantikan posisi Ayah, kalau Ayah sedang tidak di rumah. Tapi aku pernah sedih mendengarkan komentar tetanggaku tentang aku dan keluargaku. “Kasihan ya Alim, adiknya banyak dan kecil-kecil, pasti harus sering berbagi dong,” komentarnya tanpa merasa berdosa. Lalu aku akan berlari ke rumah dan bertanya sama Bunda, mengapa kok mereka bicaranya seperti itu. Bunda hanya tersenyum dan berkata,”Justru yang kasihan mereka, mereka tidak tahu nikmatnya berbagi, kapan-kapan kita hantar makanan untuk mereka,“ hibur Bundaku sambil tersenyum padaku.
          Suatu hari Ayah mengajak kita jalan-jalan. Ketika sudah sampai di tempat dan Ayah memarkir mobil, kami menyaksikan tukang parkir yang terbengong-bengong saat kami keluar mobil satu persatu sambil berceloteh riang. Dengan bangga aku katakan, “Adikku banyak ya pak, ganteng-ganteng lagi!”
 “Ya, laki-laki semua?” tanyanya masih dengan keheranannya.
 “Tidak,” jawabku, “Ada satu lagi yang paling cantik sedunia, Bundaku ….he….he….he.” jawabku dengan terkekeh. Dan aku melihat Bundaku tersipu-sipu sambil melirik Ayah. Sedangkan kudengar suara tawa Ayah dan tukang parkir itu berderai membuat orang-orang di sekitar lahan parkir itu menoleh ke arah kami. Akupun mulai bernyanyi,
…..Allahu yaa Allah, Allah
 kabulkan doaku Allah,
 sayangilah Ayah Bunda biar bahagia selalu Allah
 Sayangi adikku Allah, sayangi saudaraku Allah,
biar kami cinta mencintai untuk selamanya Allah… Allah.

Tegalgondo Feb’10


                                                                                                  

Selasa, 07 Desember 2010

RUMAH BUAT BUNDA


Rumah ini Barra yang buat di laptop Bunda. Katanya,...meski sederhana tapi Bunda kan selalu ada. Menemani dan selalu bersama. Dunia terasa begitu indah kala Bunda selalu tersenyum menyambut segala rasa yang Barra bawa. Kadang, sedih dan kecewa itu mendadak sirna ketika Bunda menyambutnya di depan pintu rumah. Bahagianya ....ketika Bunda bertanya,"Apakah harimu terasa indah sayangku?"
Lalu Barra menjawab malu-malu,"Hari yang menyenangkan Bunda, karena aku sudah buat Bunda tersenyum."


Anakku....Bunda menyayangimu. Kalau Bunda di suruh memilih apakah Bunda akan tersenyum, menangis atau cemberut. Pasti Bunda akan memilihkan senyum untukmu. Karena engkau telah menjadikan senyum Bunda spirit terbaikmu mengisi hari-hari dalam sejarah hidupmu. Doakan Bunda, agar selalu menjaga dan terus memberikan senyum terbaik Bunda untukmu. Semoga Allah menjaga Bunda dan memberi kesempatan buat Bunda mengawal hari-hari terindahmu. I love you my Son....