Kamis, 09 Desember 2010

Alim Sayang Adik


Alim Sayang Adik
          Perkenalkan, namaku Alim. Aku kelas tiga Sekolah Dasar. Aku sulung dari empat bersaudara, adikku semuanya laki-laki. Bundaku cerita, setiap menjelang kelahiran adik-adikku, aku selalu di tanya, “Mas Alim ingin adik perempuan apa laki-laki ?” tanya Bundaku sambil melirik Ayah.
“Laki-laki, Bun.” jawabku tangkas.
“Kenapa?” tanya Bunda sekali lagi.
 “Iya, biar Alim bisa ajak main bola, main sepeda, dan main ayah-ayahan.” ujarku bersemangat. Lalu bunda pun tergelak bersama ayah mendengar jawabanku.
          Sebetulnya itu jawaban ketika adik keempatku akan lahir. Waktu kehamilan Bunda yang  kedua dan ketiga aku menjawabnya asal saja, aku menjawab pertanyaan yang terakhir. Kalau pertanyaannya perempuan apa laki-laki, maka jawabanku adalah laki-laki, kalau pertanyaannya laki-laki apa perempuan, maka jawabanku bisa perempuan juga bisa laki-laki, tergantung mauku apa. Jarak kelahiran adik-adikku memang dekat. Aku dan adikku yang nomor dua hanya berjarak satu tahun persis. Kata Bunda, sewaktu aku masih berumur 3 bulan, Bunda sudah mengandung bakal calon adikku yang kedua.Waktu itu Eyang Putri berpesan,”Bunda kesundulan, kamu ndak boleh gendong Bunda lagi ya le…, kasihan adiknya yang di perut bunda,” begitu Eyang Putri menasehatiku. Dan aku hanya bengong melihat Bunda tergolek lemas, setelah mengajakku ke kampus, karena Bunda memang masih kuliah ketika menikah dengan Ayah dan punya anak aku. Begitu adik kedua ku lahir tepat aku berusia satu tahun, aku merasa punya teman bermain yang asyik. Karena Bunda selalu memintaku membantunya menjaga adik. Tapi lihatlah, aku selalu menjilati pipinya, dengan alasan mau menciumnya. Atau tidak sengaja aku membuatnya menangis karena aku berteriak terlalu kuat sehingga membangunkan tidur lelapnya. Setelah Bundaku lulus kuliah dan mulai bekerja, aku dan dan adikku sering diajak ke sekolah tempat Bunda mengajar, sekalian kami disekolahkan di sana. Aku senang sekali bisa bersama-sama adikku sepanjang hari.
          Dua tahun setelah adik keduaku lahir, Bunda melahirkan adikku yang ketiga, dan laki-laki lagi. Aku senang bukan kepalang, teman bermainku bertambah lagi. Aku sudah menduga kalau adikku yang ini juga laki-laki, karena Bunda sering mengajakku ke dokter dan menanyakan ke dokter kemungkinan jenis kelamin adikku yang ketiga. Lagi-lagi aku melihat senyum Ayah dan Bunda yang selalu mensyukuri apapun yang Allah berikan untuk kami. Itu juga yang Ayah sampaikan kepadaku. “Anak adalah rezeqi, dan amanah dari Allah, kita harus mensyukurinya dan menjaganya dengan baik,” petuah Ayahku panjang lebar. Dan aku mencoba memahaminya meskipun kata-kata itu terlalu sulit dimengerti oleh anak seusiaku.
“Mas Alim mau bantu Ayah dan Bunda ?” tanya Ayah suatu hari, dan aku mengangguk cepat. “Jadi anak yang sholih dan berbakti pada orang tua. Mas Alim bisa ?”pinta Ayah lagi.
 “Bisa”, jawabku mantap.
 “Hebat anak Ayah.” puji Ayah sambil mengacak rambutku. Lalu kami pun toast sambil tertawa.
          Nah, adikku yang keempat lebih hebat lagi, apa-apa mintanya sama denganku. Aku ikut menjaga Bunda di rumah sakit menjelang kelahirannya Aku melihat sendiri bagaimana Bunda meringis menahan sakit. Aku jadi ingin ikut menangis, kasihan melihat Bunda. Kata Ayah, laki-laki tidak boleh cengeng, “Kita doakan bunda dan adik saja,” saran Ayah, aku mengangguk cepat mengiyakan petuah Ayah. Setelah kejadian itu aku semakin tahu, Bunda pasti sangat menyayangi kami anak-anaknya, bagaimana tidak,  aku melihat sendiri senyum bahagianya setelah adikku terlahir ke dunia. Aku ikut bahagia melihat adikku laki-laki lagi.
Pernah aku diajak ayah pergi keluar kota selama tiga hari. Rasanya rindu sekali ingin cepat pulang, kangen dengan adik-adik dan tentu saja Bundaku. Karena aku anak yang paling besar, Ayah dan Bunda sering menitipkan “sesuatu” untukku. Misalnya,”Mas, Bunda titip adik ya, tolong  di jaga.”
Atau,” Mas, Ayah mau pergi ke luar kota, titip Bunda dan adik-adik ya. Mas nurut sama Bunda, kalau adik bertengkar kamu yang melerai  Kasihan Bunda, sudah capai seharian di sekolah.”
Dan aku akan menjawab sambil membusungkan dada,”Siap Bos!” tukasku, lalu ayah akan mengajak toast lebih keras denganku.
          Aku bangga sekali mendapat “titipan” itu. Aku merasa telah menjadi laki-laki dewasa, yang bisa menggantikan posisi Ayah, kalau Ayah sedang tidak di rumah. Tapi aku pernah sedih mendengarkan komentar tetanggaku tentang aku dan keluargaku. “Kasihan ya Alim, adiknya banyak dan kecil-kecil, pasti harus sering berbagi dong,” komentarnya tanpa merasa berdosa. Lalu aku akan berlari ke rumah dan bertanya sama Bunda, mengapa kok mereka bicaranya seperti itu. Bunda hanya tersenyum dan berkata,”Justru yang kasihan mereka, mereka tidak tahu nikmatnya berbagi, kapan-kapan kita hantar makanan untuk mereka,“ hibur Bundaku sambil tersenyum padaku.
          Suatu hari Ayah mengajak kita jalan-jalan. Ketika sudah sampai di tempat dan Ayah memarkir mobil, kami menyaksikan tukang parkir yang terbengong-bengong saat kami keluar mobil satu persatu sambil berceloteh riang. Dengan bangga aku katakan, “Adikku banyak ya pak, ganteng-ganteng lagi!”
 “Ya, laki-laki semua?” tanyanya masih dengan keheranannya.
 “Tidak,” jawabku, “Ada satu lagi yang paling cantik sedunia, Bundaku ….he….he….he.” jawabku dengan terkekeh. Dan aku melihat Bundaku tersipu-sipu sambil melirik Ayah. Sedangkan kudengar suara tawa Ayah dan tukang parkir itu berderai membuat orang-orang di sekitar lahan parkir itu menoleh ke arah kami. Akupun mulai bernyanyi,
…..Allahu yaa Allah, Allah
 kabulkan doaku Allah,
 sayangilah Ayah Bunda biar bahagia selalu Allah
 Sayangi adikku Allah, sayangi saudaraku Allah,
biar kami cinta mencintai untuk selamanya Allah… Allah.

Tegalgondo Feb’10


                                                                                                  

Selasa, 07 Desember 2010

RUMAH BUAT BUNDA


Rumah ini Barra yang buat di laptop Bunda. Katanya,...meski sederhana tapi Bunda kan selalu ada. Menemani dan selalu bersama. Dunia terasa begitu indah kala Bunda selalu tersenyum menyambut segala rasa yang Barra bawa. Kadang, sedih dan kecewa itu mendadak sirna ketika Bunda menyambutnya di depan pintu rumah. Bahagianya ....ketika Bunda bertanya,"Apakah harimu terasa indah sayangku?"
Lalu Barra menjawab malu-malu,"Hari yang menyenangkan Bunda, karena aku sudah buat Bunda tersenyum."


Anakku....Bunda menyayangimu. Kalau Bunda di suruh memilih apakah Bunda akan tersenyum, menangis atau cemberut. Pasti Bunda akan memilihkan senyum untukmu. Karena engkau telah menjadikan senyum Bunda spirit terbaikmu mengisi hari-hari dalam sejarah hidupmu. Doakan Bunda, agar selalu menjaga dan terus memberikan senyum terbaik Bunda untukmu. Semoga Allah menjaga Bunda dan memberi kesempatan buat Bunda mengawal hari-hari terindahmu. I love you my Son....

Jumat, 26 November 2010

Belajar Bersama Ayah Hebat


"Abi...kok orangnya semua pakai masker?"
"Mengapa kok semua menangis?"
Apa ada gempa, bi?'
"Mengapa banyak polisi?"
"Aku boleh kasih mainan?"
"Aku mau iku abi ?"
Belajarlah anakku....Ayahmu orang hebat. Beliau pasti mengajarimu banyak hal. Tentang empati. Tentang indahnya berbagi. Ada saat, kalian akan menggantikan tugas Abi. Menjajakan cinta untuk sesama. Berbagi peduli dan berserah hati.
Ada saatnya anakku..... Abi mengajarimu  bagaimana indahnya perjuangan. Sulitnya medan yang harus kau tempuh. Derasnya peluh yang harus kau luruh.
Belajarlah anakku....Ayahmu orang hebat. Beliau pasti membisikimu...."Umi pasti berdoa untuk kita."







Rabu, 10 November 2010

JADILAH BINTANG

JADILAH BINTANG
Yang Cemerlang Dengan Ketawadhu’an

Tawadhu’lah,
engkau akan seperti bintang.
Orang melihatnya bersinar dipermukaan air,
                                               Meskipun ia berada dilangit yang tinggi,           
Janganlah engkau seperti asap,
Ia terbang tinggi menuju ke angkasa,
Padahal pada hakikatnya
Ia tak berharga.
…Anakku, Bunda tidak tahu, ketika kelak engkau bertanya, apa yang Bunda wariskan untukmu. Cukuplah Allah yang ‘kan menjagamu.


BUNDA KEREN

Menjadi Bunda KEREN dengan arti sesungguhnya, adalah ibu bagi keempat anakku. Bagaimana tidak KEREN kalau saya adalah mahkluq paling cantik di seantero rumah. Maka ketika saya sampaikan KEREN dalam arti tidak sebenarnya, adalah ketika ammah-ammah cantik itu mengunjungi Rumah Cintaku setiap Jum'at sore. Maka so pasti merebaklah aura feminin yang menjadikan majelis kita jadi KEREN. Nah, tantangan Bunda KEREN yang ini pasti beda. Kata Rasulullah, Seorang ibu akan di janjikan syurga tatkala dia bisa mengasuh dan mengawal tiga anak gadisnya menjadi wanita-wanita sholihah... Hmm, meski KEREN yang datang jum'at sore itu bukan anak gadisku sesuai nasab. ,api setidaknya saya akan belajar dari mereka. Dan menjaga amanah ini adalah bagian dari proses belajarku menjadi Bunda KEREN yang sesungguhnya.
Kata guruku, agar aku:
1. Menjaga keikhlasan itu sampai akhir nanti
2. Terus belajar
3. Siap memberi dan menerima nasehat
4. Jaga terus kualitas maknawiyah
5. Menjaga kesehatan jasmani (jelas ini sangat perlu, kalau Bundanya sakit pasti semua repot, Baca= siapa yang akan buat teh, goreng pisang, dan meyampaikan kabar gembira...he...he...he, meskipun anak-anak gadisku sudah bisa buat teh sendiri. Dan ini terbukti waktu sakit beberapa waktu yang lalu. Teh dan kue itu datang sendiri)
Yang pasti saya selalu mohon kekuatan pada Allah agar menjagaku. Amiin
Teriring salam sayang dan rindu untuk KEREN ku. Mwuah.....

Tokoh Itu Bernama Naruto

Tokoh Itu Bernama Naruto
            Minggu ini tidak seperti minggu-minggu sebelumnya. Sepulang dri masjid Subuh tadi banyak yang harus aku persiapkan untuk acara “Road Show” hari ini. Aku katakan Road Show, karena itulah saat-saat aku “tampil” didepan “publik” menebarkan amal-amal kebaikan, menyemai pahala sebanyak-banyaknya untuk kupersembahkan pada Sang Pemilik jiwa ini. Kukatakan juga “publik”, adalah mereka keempat jagoan dan pangeranku tercinta. Kukatakan pada mereka,”Ayo bergegas, matahari sudah bersiap menyemangati kita!”
“Kemana kita, Mi?” tanya si Sulung.
“ Ke Masjid, lalu kita akan bersenang-senang hari ini,” tangkas kujawab pertanyaannya.
“Iya, tapi kemana?” susul yang kedua tak sabaran.
“Kita akan ke Pasar Minggu sayang, ayo makanya cepat nanti keburu pasarnya tutup!” sahut Ayahnya tak mau kalah.
“Asyik….,kita akan jalan-jalan!” teriak mereka bersamaan.
            Minggu ini memang istimewa, karena aku akan mengajak  anak-anak belajar banyak hal di Pasar Minggu. Seperti namanya, Pasar Minggu adalah pasar yang bukanya hanya di hari Minggu. Pasar ini memang pasar rakyat yang di gagas Pemerintah Daerah setempat untuk para pedagang kaki lima, agar lebih kondusif dan tertata rapi meramaikan geliat perekonomian di kota Malang. Selain sebagai sarana jual beli, sesungguhnya pasar ini menawarkan banyak hal tentang keanekaragaman budaya dan adat istiadat daerah. Stand-stand  yang merupakan tenda kafe berukuran 3x3m2 sungguh sangat representative memamerkan barang dagangan mereka. Juga aneka barang yang di tawarkan. Aku jadi teringat “Sabanan” semasa kecilku. Di daerahku, pesisir tepi pantai utara pulau Jawa, ada sebuah tradisi menjelang Ramadhan , selama sebulan penuh Pemerintah Daerah setempat memberikan hiburan kepada masyarakat berupa di gelarnya pasar malam. Tepat sebulan , yang jatuh pada bulan Sya’ban tahun Hijriyah penanggalan Islam. Makanya pasar ini dikenal masyarakat dengan istilah Sabanan, yang diambil dari kata Sya’ban. Hanya bedanya, Sabanan ini bukanya mulai sore hingga malam. Sedangkan Pasar Minggu di Malang dari ba’da Subuh hingga menjelang siang. Selain menyajikan berbagai macam barang dagangan, Sabanan juga menggelar aneka macam pertunjukan, terutama permainan anak-anak semacam komidi putar dan lain sebagainya. Pasar Rakyat yang murah meriah dan cukup menghibur bagi mereka yang berkantong “pas-pasan” Dan aku semasa kecilku mewajibkan diri untuk mengunjunginya bersama seluruh keluargaku. Perasaan suka cita selalu menyertaiku dari berangkat hingga sepulang darinya bersandar di bahu ayahku. Dan perasaan itu pula yang dialami  anak-anakku hari ini. Setelah memarkir kendaraan, kuberi aba-aba mereka untuk saling bergandengan tangan agar tidak terpisah satu sama lain, karena kondisi pasar yang sangat berjubel memungkinkan sekali bagi mereka untuk kebingungan  mencari kami ayah bundanya jika terpisah sekejab saja.
            Sulungku beranjak dari satu tenda ke tenda yang lain dengan riangnya, dan kutahu pasti lewat senyum lesung pipitnya yang tak pernah jauh dari wajahnya. Adik-adiknya membuntuti lewat belakang seolah menyetujui apapun yang kakaknya lihat. Aku terus berbicara menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang tiada henti. Pertanyaan itu terus mengalir seiring dengan bola mata mereka yang semakin membulat dan berbinar-binar. Saat-saat itulah yang sangat kusuka. Rasa ingin tahu yang membuat letupan-letupan ide dan semangat memberikan energi luar biasa untuk berkarya esok hari. Hari-hari yang berarti akan menorehkan kesan mendalam untuk mereka setelah besar nanti. Seperti aku bundanya yang selalu punya cerita masa-masa indah itu untuk mereka, sebagai awal membuka pintu rasa ingin tahu dan penasaran memancarkan sebuah “lampu pijar” di atas kepala mereka. Dan itu akan terus membentuk lipatan-lipatan dalam otak mereka, yang akan menjadikan mereka orang hebat di kemudian hari.
            Tiba-tiba si bungsu menghentikan langkahnya tepat didepan stand mainan. Diraihnya sebuah replika Naruto dan tanpa ragu ditunjukkannya padaku, seolah memohon dibelikan itu untuknya. Aku tersenyum dan bertanya,”Apa itu , sayang?”
“Naluto, oleh Mi?” jawab suara cedalnya setengah memohon.
“Oke, tapi janji mainnya gantian sama mas ya ,” jawabku minta kesediaannya sambil melirik ketiga kakaknya. Dan kulihat dia mengangguk mantap. Dan sudah kuduga kakak-kakaknya langsung menyusul sang adik meraih replika yang lain, sengaja tak paham kalimat “gantian” yang kuucapkan dengan volume agak keras tadi. Penjual mainan itupun terkekeh melihat polah anak-anakku, dan antusias melayani mereka dengan ramah. Kupandangi wajah suamiku dengan sedikit merasa bersalah mengijinkan mereka. Tapi sekali lagi, pangeranku itu tak pernah mengeluh. Dan aku selalu tahu bahwa kegembiraan anak-anak adalah kebahagiaannya juga. Lalu kamipun disibukkan memilih tokoh-tokoh karakter kebanggaan mereka. Masyaallah….., begitu hafalnya anak-anak dengan tokoh-tokoh khayalan itu. Kuperhatikan si sulung mengambil Sasuke, yang kedua Takasi, adiknya lagi meraih Robot Transformer. Dan si bungsu tetap dengan pilihan awalnya,  Naruto. Kucari-cari Gatotkaca diantara berpuluh-puluh karakter tadi, tapi tak kutemukan. Setengah bercanda kutanyakan pada penjualnya, sambil terkekeh pula dia katakan,” Ya, ndak ada bu, itu kan tokoh dalam negeri, lha ini kan buatan luar negeri.” jawabnya seolah menyalahkanku yang tidak gaul dengan tokoh-tokoh kartun itu. Aku mencerna jawaban itu seraya memahami betapa bangganya sang penjual  menjajakan bikinan luar negeri itu. Ya sudahlah, kubiarkan mereka bersenang-senang dengan mainan barunya sembari prihatin dengan kegemaran mereka.
            Pelajaran berharga hari ini, aku mulai meamahami sifat anak-anakku lewat karakter mainan yang dipilihnya. Dari cerita si sulung aku jadi tahu Sasuke yang dipihnya adalah pahlawan yang akhirnya menjadi musuh. Karena ketidakberdayaannya, menjadikan tokoh ini menjadi sosok yang selalu mengalah dalam peran-perannya. Dan itulah sulungku yang selalu menjadi pengalah bagi adik-adiknya. Kadang dia protes padaku mengapa harus dia yang berkorban untuk adik-adiknya. Tak bosan-bosan pula kusampaikan rasa sayangku atas pengorbanannya itu dan janji Allah baginya karena ayah bundanya ridho padanya.
            Sedang Takashi, Sang Guru Pahlawan adalah sosok jagoan milik putraku yang kedua. Gayanya yang sok menggurui menjadikan ia banyak dikelilingi teman-temannya untuk mendengarkan petuah-petuah yang tentu saja mengadopsi dariku.
            Robot Transformer dengan senjata tembak di tangan kanannya menjadikan daya tarik tersendiri bagi putra ketigaku. Sosok Pembela Kebenaran yang kuat dan tak terkalahkan, persis seperti sifatnya yang sok kuat meskipun kadang gampang sekali menangis karena hatinya memang selembut salju.
            Dan Naruto itu, entah aku juga tidak begitu paham dengan gaya pahlawan yang satu ini. Tapi yang jelas, kakaknya mampu menggambarkan dengan gamblang bahwa dialah trandsetter dan leader di semua lini. Itulah sosok si bungsu sehari-hari. Memimpin dan selalu menjadi pemenang di hadapan kakak-kakaknya yang sekali lagi kuminta untuk mengalah untuk adiknya. Agar tangisnya tak mudah pecah dan kepercayaan dirinya tumbuh. Tapi lihatlah, dia menunjukkan kearifannya, menyetujui kakak-kakaknya meminjam barang miliknya dengan bangganya.
            Kubayangkan tokoh Umar bin Khatab, Abu Bakar ash-Shidiq, Khalid bin Walid bahkan Asma’ binti Abu Bakar yang menjadi idolaku berbaris diantara karakter-karakter tersebut, bahkan Muhammad SAW  diantara pajangan tadi, pasti aku akan memilihkannya untuk mereka. Sayang mereka semua terlalu mulia kalau hanya untuk di buatkan replikanya dan sekedar dipajang untuk di koleksi pemiliknya. Islam mengharamkan penokohan mereka lewat gambar apalagi patung yang hanya akan merusak aqidah umat ini. Cukup catatan emas kegemilangan mereka untuk ditauladani generasi ini terutama anak-anakku lewat kisah-kisah heroik Umar menantang kaum kafir Qurays, atau Abu Bakar dengan pembenarannya terhadap Rasulullah, dan Khalid dengan kepiawaiannya di medan laga. Asma’ yang gagah mengemban amanah mendaki lembah demi keberlangsungan hidup dua orang kekasihnya di Gua Tsur.
            Itulah pelajaran keduaku hari ini, bertekad dalam hati menunjukkan kehebatan pahlawan sesungguhnya yang seharusnya menjadi idola mereka. Biarlah kutebus kesalahanku saat ini dengan berjanji menyalurkan energi dahsyat Rasulullah dan para sahabat lewat pelajaran-pelajaran berikutnya. Mungkin pekan depan ke museum atau ke kebun buah. Atau bisa ke lapangan sepak bola dan kolam renang, Yang penting semua tempat itu akan menceritakan pada mereka sebuah kehidupan alam nyata, bukan khayalan seperti medan yang telah Naruto dan kawan-kawannya pilih. Bagiku merekalah ladang pahala sesungguhnya.
           


Pasar Minggu suatu pagi
Ahad, 28 Maret 2010
Lenny Oktaviana Dewi

Selasa, 09 November 2010

Rumah Penuh Cinta

Rumah Penuh Cinta

Malam baru saja beranjak menawarkan keheningan, setelah hujan menderas sejak siang hingga sore tadi. Memasuki petang derasnya mulai mereda berganti rintik yang membawa serta dingan yang menggigil. Anak-anak mulai bergelung di atas tempat tidur. Kuhantarkan mereka menderaskan pula doa akan tidur yang sudah sangat hafal di luar kepala. Kujanjikan pada si sulung sebuah kebaikan yang akan diperolehnya kalau esok  dia bangun pagi dan bergegas sholat shubuh tanpa disuruh. Kulihat matanya bersinar, bibirnya menyunggingkan senyum optimis,, dan lesung pipitnya terbentuk diantara dua pipi bulatnya persis seperti ayahnya jika tengah tersenyum padaku. Yang nomor dua pun tak mau kalah. Bahkan dia berjanji sendiri untuk bangun pagi tanpa disuruh, tidak ngompol dan sholat subuh. Aku tergelak saat dia juga berjanji bangun nomor dua setelah bundanya.
Kutanya ia, “Mengapa tidak nomor satu?”
“ Iya, kan Bunda yang harus bangun dulu supaya aku ada temannya, terus bisa buatkan aku susu.” jawabnya bersemangat.
“Iya deh, Bunda insyaallah bangun dulu buat susu untuk  semuanya lalu kalian semua bangun minum susu buatan bunda, terus kita siap-siap sholat shubuh berjamaah, bagaimana, setuju ?” tanyaku.
 Lalu serentak menjawab, “Setuju…!”
Kukecup keningnya satu-persatu dan aba-aba tidur pun segera ku sampaikan. Tanpa suara kututup pintu kamar dan kumatikan lampunya, berganti lampu temaram yang akan menemani tidur mereka.
“Bunda, kalau besok aku bangun pagi, apakah matahari sudah bangun ?” tanya yang nomor tiga sebelum aku beranjak meninggalkan mereka.
 “Ya, matahari akan muncul sedikit dan mengintip kita. Tapi kalau kamu lihat mataharinya sudah bulat dan di luar jendela itu terlihat terang, itu tandanya kamu sudah terlambat sholat subuh.” jawabku setengah berbisik.
“Kalau begitu sekarang lekas tidur biar besok tidak terlambat bangun, oke !” perintahku sambil kurapikan lagi selimutnya. Kututup pintu kamar perlahan setelah kupastikan semua tidak akan bertanya lagi ketika aku keluar dari kamar mereka.
 Sambil  kusapukan pandanganku keseluruh kamar, aku berujar lirih,”Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, atas semua kebaikan ini.
 Kamar luas itu  mau mas Wid suamiku, ayah mereka. Ketika kesempatan memiliki rumah sendiri Allah ijinkan setelah delapan tahun kami berpindah-pindah kontrakan, akhirnya mimpi itu perlahan-lahan mulai terwujud.  Ide besarnya adalah kebersamaan kami dalam segala kondisi. Dengan empat jagoan yang usianya sangat berdekatan, kami menentukan pola asuh yang sangat sederhana menurut  kami kedua orangtuanya. Kakak pertama kami “titipi” adik yang keempat, kakak kedua dengan adik yang nomor tiga. Meskipun terkesan sederhana tapi terkadang muncul  konflik, karena perbedaan karakter dan ego masing-masing. Terkadang pergantian peran kami lakukan, tapi aturan tetap berlaku selama kebaikan itu tidak bergeser dari niat awalnya. Tanggung jawab dan kewajiban yang harus mereka pahami sejak dini dalam memaknai kebersamaan ini. Ruang tanpa batas berukuran 7x5 meter persegi itu sengaja diciptakan tanpa sekat. Di dalamnya berdampingan tempat tidur 1x120 meter persegi yang hanya berjarak sekitar 1 meter untuk memisahkan tempat tidur masing-masing. Diatur berjajar layaknya barak tentara, sehingga memudahkan aku dan ayahnya mengecup kening mereka bergantian tanpa mengangkat kepala. Di sudut sana ada dua buah meja belajar yang lagi-lagi konsepnya adalah kebersamaan. Kami serahkan mereka mengaturnya sendiri, termasuk pembagian tugas merapikan dan menatanya sesuai selera mereka. Dua jendela kaca menghadap hamparan sawah dan perbukitan di samping rumah menjadi tempat favorit kami kala pagi menyambut mentari dan sore hari menjelang senja. Banyak mimpi-mimpi  mulai kami rajut disini, ide-ide besar mereka dan celoteh-celoteh yang menginspirasi.
Ruang besar dilantai dua itu adalah mimpi kami kedua setelah membeli rumah ini. Lantai satu hanya untuk dua kamar tidur, satu untukku dan suamiku, satu lagi kamar tidur untuk tamu, dan ruang kecil di depan untuk ruang tamu yang disekat menjadi garasi. Di bagian belakang setelah ruang keluarga ada dapur dan ruang makan yang lagi-lagi konsepnya juga kebersamaan, karena tidak ada sekat disana. Kami biasa berkumpul di sekelilingnya sambil makan, masak bersama, atau nonton televisi. Meja makan itu juga menjadi tempat favorit kedua setelah jendela diatas  tadi. Kita bercerita apa saja disana. Dari menu kesukaan sampai rencana liburan dan beli buku baru. Suamiku sering memancing ide mereka dengan bercerita pengalaman bertemu banyak orang di hari-harinya dan nostalgia masa kecilnya. Kesempatan bertemu anak-anak yang hanya sebentar-sebentar menjadikan kerinduan kami padanya luar biasa, sehingga kesempatan itu tidak pernah kami sia-siakan. Dan suamiku tahu betul bagaimana membahagiakan kami, keluarga kecilnya. Pertemuan yang sebentar itu menjadi berkualitas karena dia pandai sekali memilih acara yang tepat untuk kebersamaan kami.
Dengarlah suara kalemnya saat telepon aku suatu sore, “Bun, siap-siap ya, ba’da maghrib aku jemput kamu dengan anak-anak, kita ke villa, ayah ada acara sampai besok siang.” Perintahnya dengan lembut. Tanpa banyak komentar akupun mengiyakan dan berjanji menyiapkan anak-anak yang pasti sangat senang menyambut ajakan ayahnnya. Dan bisa ditebak saat janji ayahnya kusampaikan pada mereka,” Hore…kita bersenang-senang!” lalu tanpa disuruh baju-baju disiapkan, bekal dan sedikit mainan diangkut kedalam masing-masing tas mereka, bahkan si bungsu sudah repot dengan baju renang dan peralatan mandinya. Heboh, tapi menyenangkan. Momen-momen special itulah yang selalu aku nikmati, sebagai bunda aku sering membayangkan, ketika anak-anak telah dewasa nantinya . Betapa rumah ini akan sepi. Rumah yang aku dan suamiku bangun dengan pondasi mimpi dan tiang pengorbanan serta kesabaran. Bagaimanapun cita-cita membangun kebersamaan itu adalah modal awal kami. Kalau Allah mengijinkan betapa ingin aku bersama mereka semua sampai aku menghadapNya kelak. Aku pasti akan merindukan celoteh riang mereka, pertengkaran-pertengkaran kecil itu, hiruk pikuk membangun rumah-rumahan dari bantal, guling dan selimut bundanya sampai aku harus menahan dingin suatu malam tanpa kusadari bahwa sang selimut telah terpasang dengan manisnya sebagai atap tenda-tendaan di ruang tamu bersama selimut mereka yang menjadi alasnya. Pantas saja malam itu aku merasa berada di Jepang merasakan dinginnya salju sambil menikmati bunga sakura yang menyembul malu-malu di balik rantingnya yang memutih kristal. Indah sekali, tapi aku memang tak tahan dingin. Itulah yang selalu menjadi alasanku setiap suami dan anak-anak memintaku terjun ke kolam renang menemani mereka bermain air. Aku menikmati mimpiku waktu itu karena rasa dingin yang mencengkeram kakiku  tidak kuhiraukan lagi bersamaan mas Wid suamiku meraihkan sekuntum sakura di ujung sana dan mengulurkannya untukku sambil tersenyum. Aku berbahagia semalam itu sampai alarm HP berdering membangunkanku dari mimpi itu. Aku langsung bersyukur dan tersenyum kecil menyadari aku tengah bermimpi dan aku meminta pada Allah mimpi indah itu berwujud nyata suatu hari nanti. Tidak ada salahnya aku ke Jepang. Mungkin salah satu dari mereka memintaku kesana, menjenguknya dan menyemangati mereka menyelesaikan studi S2 atau S3 nya. Allah Maha Tahu apa yang kumau.
Atau aku akan memasak sambil mengukur seberapa banyak beras yang akan kutanak,dan seberapa butir telor yang akan ku ceplok sebagaimana biasa aku menghidangkannya untuk keluargaku. Dan sepertinya kursi-kursi makan itu hanya aku dan mas Wid yang akan meramaikannya sambil menceritakan polah mereka sebelum hari ini. Ya Allah aku sedih kalau memikirkan itu. Tapi mas Wid selalu bilang padaku anak-anak pasti akan merindukan masakanku terutama omelanku sepanjang hari. “Ha….ha….ha….”katanya sambil meledekku. Aku hanya bisa cemberut dan balik meledeknya dengan mengingatkan Kue Terang Bulan bantatnya yang juga dirindukan anak-anak kalau sedang mati lampu dan hujan rintik-rintik di sore hari. Mas Wid lalu mengacak rambut dan memelukku erat-erat untuk meyakinkanku bahwa dia akan menemaniku sampai aku bosan. Duh…bagaimana aku bisa bosan kalau kehadirannya selalu kurindukan.
Sebetulnya Rumah Cinta itu juga perjuangan besar kami saat mencari lingkungan dan pergaulan yang “aman” untuk kami sekeluarga. Setelah empat kali kami pindah rumah dan berganti tetangga, kami akhirnya mendapatkan lingkungan yang sangat kondusif untuk tumbuh kembang anak-anak juga aku bundanya mengaktualisasikan diri. Kalau mas Wid suamiku, “Yang penting dekat masjid,” ujarnya. Harapan besarnya memang mengkondisikan anak-anak untuk cinta masjid, dengan berusaha mengajaknya sholat berjamaah.Aku ingat ketika itu si sulung masih sangat kecil, usianya belum lagi 4 bulan. Dengan semangat si sulung dibangunkan dari tidur lelapnya, karena udara memang sangat dingin subuh itu. Aku mencoba untuk menawarnya agar nanti saja kalau sudah agak besar. “Aku ingin anak-anak tahu bangun pagi itu bagus untuk manajemen waktunya kelak kalau sudah besar, biar mereka juga tahu malaikat akan membagi-bagikan rezeqi Allah itu pagi-pagi sekali, jadi kalau mereka terlambat bangun jangan harap hari ini berbahagia sebahagia orang yang menjumpai pagi. Dhik, pagi hari juga bisa kamu ajak anak-anak melihat kesibukan bundanya melatih empati mereka, membantu bunda dan mendekatkan mereka dengan kamu. Tapi ndak pakai ngomel ya…!” petuahnya langsung mengena kehatiku.
Maka ketika fajar menyingsing adalah saat aku memberi komando kehidupan pada rumah cintaku. Menyibakkan selimut akan membangunkan mas Wid dari lelapnya, membuka pintu kamar membuat si sulung membuka matanya, menyalakan kran kamar mandi akan membangunkan yang nomor dua disusul teriakannya minta susu akan membangunkan kedua adiknya yang meminta susunya juga. Walhasil pagi hari di istanaku menimbulkan kesibukan luar biasa setelah kelima jagoanku bangun semua. Pembaca, jangan salah, jagoanku yang pertama adalah mas Widku tersayang, baru yang empat adalah si sulung dan adik-adiknya.
Lalu kesibukan berikutnya adalah mas Wid yang memberi komando sholat shubuh ke masjid. Si bungsu masih kebingungan mencari pecinya saat mas Wid sudah membuka pintu pagar. Ternyata sang peci sudah bertengger di kepalanya tanpa disadarinya. Yang nomor tiga kebingungan mencari sebelah sandalnya yang entah dimana diletakkan kemarin sore selepas ke masjid untuk sholat isya’. Sambil berlari dikejarnya mas-masnya yang meninggalkannya karena muadzin sudah mengumandangkan adzan. “Tunggu mas, sandalku kebesaran nih aku ndak bisa lari,” teriaknya memecah keheningan subuh dan membangunkan tetangga kanan kiriku. Lalu kesibukan baru dimulai setelah kepergian mereka. Lampu-lampu teras sepanjang jalan ke masjid mulai dipadamkan, dan jendela-jendela rumah mereka tersibak tirainya. Bersamaan iqomah dikumandangkan maka mak Rum penjual sayur di perumahan kami memarkir barang dagangannya di atas meja sajinya. Sambil bergegas ia pun berlari menuju masjid untuk sholat di sana.
Aku cinta sekali suasana pagi. Disanalah aku mencanangkan mimpi hari ini dari inspirasi malam setelah aku terlelap sesaat bersama anak-anak. Setelah mengantarkan malam menemani buah hatiku dengan kedamaiannya aku akan merebahkan diri pula sembari berbisik padanya agar jangan membuaiku dengan berlama-lama bersamanya. Cukuplah membuat penatku sehari tadi terobati dengan pulasku, karena aku ada janji bertemu Rabbku di sepertiga malam terakhir nanti dan janji dengan diriku sendiri untuk melanjutkan untaian kalamNya yang tertunda karena kesibukanku seharian tadi.
Selain pagi, malam menjelang dini hari juga menjadi kesayanganku, darinya aku dapati kejujuranku. Aku yang pemalu merayu suamiku,padahal aku tahu betapa inginnya aku menghampirinya dan bertanya apa yang ingin aku lakukan sekarang bersamanya. Atau aku yang merasa bersalah meninggalkan anak-anak sore tadi untuk mendatangi acaraku tanpa meminta persetujuan mereka, dan terus berjanji mengajaknya lain waktu. Aku yang malu telah meninggalkan tilawahku karena asyik ngobrol dengan teman-teman di kantor guru tadi siang, atau aku yang terlanjur malu karena tertidur saat dzikir siang tadi sehabis sholat dzuhur di masjid sekolah tempatku mengajar. Tempat favoritku kala merenungi malu adalah sudut kamarku. Disana  kuhamparkan sajadah pemberian mas Wid setelah akad nikah dulu. Masih terngiang di gendang telingaku sapanya pagi setelah kepulangan kami dari masjid Al-Huda tempat janji suci itu diikrarkan,”Dhik ini bukan mahar lho ya, ini kado  mas dari temen-teman mas. Amanahnya untuk diberikan ke istri mas. Maksudnya sih dulu buat dijadikan mahar, tapi ternyata kamu minta maharnya hafalan Al Quran. “ujarnya sambil menyerahkan seperangkat alat sholat dan Al Quran mungil yang sederhana itu. Dan sampai hari ini seperangkat alat sholat itu masih menemani hari-hariku. Ada ketulusan dan kesederhanaan di sana. Itulah yang kurasakan, dan itulah masku, apa adanya. Aku masih merasakan getaran tangan dan desahan nafasnya ketika menyerahkannya padaku pagi itu.
Di hamparan sajadah itulah aku sampaikan rasa dan harapku pada Allah, tempat curahan cintaku. Betapa aku selalu merindukan mereka, keluarga kecilku. Aku berharap Allah membimbingku menjadi istri yang baik, ibu yang luar biasa untuk anak-anakku. Aku betul meminta padaNya menjaga keluargaku, menyayangi kami dan mengampuni salah dan mungkin dusta yang tanpa sengaja kami sampirkan pada hari-hari kami meniti cinta ini. Seperti malam ini setelah aku terjaga dari lelapku, aku kembali bersimpuh di sudut kamar itu bersama hamparan sajadah yang telah hampir 8 tahun menemaniku. Ku tanyakan padaNya apakah aku berhak bahagia setelah apa yang telah kulakukan sepanjang hari tadi. Tanpa bermaksud mendustainya, aku tak sengaja bersedih membayangkan anak-anak akan meninggalkanku sendiri di rumah ini. Mengapa ada sebentuk rasa kesendirian tidak bersama mereka esok hari. Baru kusadari malam ini, bahwa Allah tidak akan membiarkanku sendiri kalau aku terus menderas dzikirku, mengingatNya di setiap sudut batin dan ragaku. Kesendirian adalah milik kita kalau kita mengucilkan batin kita. Ada saat kita butuh kesendirian itu seperti saat ini, saat aku bersimpuh di sudut kamarku ini. Mas Wid ada tugas ke luar kota sejak dua hari yang lalu.Mungkin esok baru pulang. Tapi lihatlah aku tidak sedang sendiri, ada Allah yang tengah menjawab resahku, mendekap gelisahku dan meredakan galauku. Aku mendengar janjiNya ujung malam itu, “Berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar “ Sabarku adalah ketika sore tadi ada yang menyampaikan sebuah gunjingan untukku. Alhamdulillah aku menerimanya dengan kesyukuran atas limpahan pahala dari penggunjing itu. Kuhadiahkan senampan maaf untuknya sebelum dia meminta. Sabarku adalah saat uang yang terselip di dompet tinggal 5000 rupiah sedang susu sulung dan adiknya tinggal tersisa untuk persembahan bangun tidur esok hari. 5000 itu kuulurkan pada kaleng infaq yang berkeliling saat pengajian sore tadi untuk sunduq pembangunan masjid. Aku terbersit malu mempersembahkan cuma selembar itu Dan Allah langsung membalasnya dengan hantaran 2 kilogram gula dan 1 liter minyak goreng ke rumahku oleh seorang sahabatku. Sabarku adalah ketika mas Wid berbisik minta maaf belum bisa pulang hari ini, dan akan berusaha mengejar kereta yang tertinggal tadi sore dengan jadwal esok pagi. Kesabaran yang ini menjadikan anak-anak mudah sekali dinasehati dan bersikap manis padaku sepanjang hari tadi. Aku tidak tahu bagaimana aku harus membalas kebaikan-kebaikan yang Allah berikan padaku. KebaikanNya terulur sebelum aku meminta. Aku terkadang lupa untuk bersegera memenuhi panggilanNya. Dan malam itu aku berazzam mencontoh kebaikanNya pada orang-orang disekitarku sekuat kemampuanku.





Rumah Penuh Cinta